Senin, 18 Juli 2016

Serkilas tentang Tambo Adat

Mendirikan nagari Periangan–Padangpanjang
Dalam abad ketiga belas, ada seorang raja turun dari Tanah Hindu Bernama “Sang Sapurba”. Hingga sampai di Bukit Siguntang-guntang di Tanah Palembang. Kemudian dia mempunyai 4 orang anak  ( 2 laki-laki, dan 2 perempuan). Seorang anak laki-laki itu bernama “Sang Nila Utama” dan seorang lagi bernama “Sang Maniaka” . Yang perempuan bernama “Cindra Dewi dan Bilul Daun”.
Sang Nila Utama pergi berlayar lalu kemudian mendirikan negeri Singapura.
Pada tahun 1160 sampai tahun 1223 diperintah oleh raja Seri Pikrama Wira Raja.
Pada tahun 1223 sampai tahun 1236 diperintah oleh raja Sri Rama Wikrama.
Pada tahun 1236 sampai tahun 1249 diperintah oleh raja Sri Maharaja.
Karena dialahkan (mendapat tekanan) dari kerajaan Mojopahit, pada tahun 1252 Sri Iskandar Syah pindah dan mendirikan negeri Malaka. (negeri ini sesudah dihancurkan tentara dari Mojopahit, akhirnya menjadi rimba raya, menjadi tempat bersembunyi perampok Lanun (bajak Laut). Kemudian dalam tahun 1812 dibangun kembali oleh Rafles yang berasal dari Inggeris).
Sedangkan Sang Sapurba pergi berlayar, akhirnya masuk ke Sungai Indera Giri sebelum abad ketiga belas (menjelang penghabisan abad ke tiga belas) . Lalu mudik sampailah ke Koto Lagundi Nan Baselo, beserta rombongan yang banyak pengiring/pengikutnya. Raja Sang Sapurba itu memakai mahkota yang bercabang-cabang bentuknya. Raja itulah yang dikatakan dengan kiasan “rusa” karena mahkotanya seperti tanduk rusa. Maka terkagum dan tercenganglah orang yang melihatnya.
Pada suatu hari memohonlah untuk bertemu dan berbicara kepada Datuk Suri Diraja seseorang putra raja Seri Maharaja yang menjadi pimpinan dalam koto Lagundi Nan  Barselo itu. Ia seorang  yang arif-bijaksana dan termasyhur di Luhak Nan Tigo karena berpengalaman dan berpengatahuan yang luas . Ia telah mendapat ilmu selama bertarak (bertapa)  di tubing batu di Gunung Berapi.
Kemudian raja itu diterima kedatangannya dengan membuat acara beriang-riang (bersuka-cita). Akhirnya dinamailah tempat itu  dengan nama “Periangan”. Ada juga yang mengatakan bahwa “Perhiangan” artinya tempat Hiang (dewa). Tetapi sebenarnya penduduk disitu tidak suka berajakan dia. Namun ketidak sukaan itu, tersampaikan  dalam kata-kata kiasan, seperti ini: “Maka bermufakatlah segala isi nagari itu seluruhnya untuk membuat balai-balairung panjang, tempat daulat yang dipertuan menitahkan kata Raja itu kepada Ceti Bilang Pandai. Balairung itu bertiangkan teras jelatang,  berperan akar lundang, bertabuh pulut-pulut, digetang kulit  tuma, bergendang seliguri, dan janang sata haji perbuatan raja jin nan berdiam dirimba lawang. Balairung itu kemudian dihiasi dengan tikar daun hilalang. Maka dikeluarkan Allah Ta’ala celempong (talempong) Cani, ialah perbuatan sigulambai rajo tunggal”. Artinya orang tidak akan menempatkan tanda kebesaran dan kemuliaan untuk Raja itu.
Maka senanglah hati Raja itu, ialah Raja Natan Sang Sita Sangkakala, “bermahkotakan emas berumbai-umbaikan mutiara, bertatahkan ratna mutu manikam. Ialah Raja yang menaruh emas sejata-jati, patah diluhak perdagangan. Ialah Raja yang menaruh emas khudratullah dua belas mutu dan emas seperti manusia. Ialah Ialah Raja yang menaruh corek-cumandang kiri, singar-singarnya seratus emas, panjangnya Sekati Muno. Ialah Raja yang menaruh sungai emas. Ialah Raja yang menaruh Bukit Bergombak. Ialah yang menaruh tikar daun hilalang. Ialah Raja yang menaruh balai batu. Ialah Raja yang menaruh tabuh pulut-pulut, yang digetang dengan kulit tuma. Ialah Raja yang menaruh balai teras jelatang. Ialah Raja yang menaruh paran akar-akar lundang. Ialah Raja yang menaruh kuda sembrani. Ialah Raja yang menaruh gunung berapi sendirinya. Ialah Raja menaruh bunga seri-menyeri, baunya setahun perjalanan. Ialah Raja yang menaruh taring emas. Ialah Raja yang menaruh kipas batu. Ialah Raja yang menaruh buluh perindu, tempat segala burung mati. Ialah Raja yang menaruh beberapa kebesaran dan kemuliaan dengan berbagai macam ragam jumlahnya”. Artinya Raja itu tidak mempunyai kebesaran dan kekayaan (harta).
Karena orang Periangan tidak mau mengangkatnya jadi raja, maka pindahlah ia ke Batu Gadang, dengan menyandang pedang panjang melalui Padang rumput yang panjang. Maka oleh Datuk Suri Dirajo dinamai kota itu Padang-Panjang. Keduanya disebut “Periangan-Padangpanjang”. Dengan arti sesungguhnya bahwa Raja yang pindah ke Batu Gadang itu, tidaklah tempat itu dapat dikuasai oleh Raja, melainkan tempat itu masih termasuk wilayah kekuasaan Periangan juga.
Kemudian bermufakatlah seluruh penduduk koto Periangan-Padangpanjang itu untuk memberi nama “nagari” dan mengangkat pengulu-pengulu pada kedua negeri itu. Ada 4 orang yang akan dinobatkan yaitu: Datuk Seri Maharajo, Datuk Maharajo Besar, Datuk Bandaharo Kayo dan Datuk Sutan Maharajo Besar. Itulah orang yang menjadi kepala, yang pertama sekali memakai kebesaran negeri yang dua itu, pada zaman dahulunya sebelum ada Ninik Ketumanggungan dan Ninik Perpatih Nan Sebatang.
Kemudian dibangunlah balai tempat menyelenggarakan rapat bagi pengulu-pengulu dan cerdik-pandai. Itulah balai asal di Alam Minangkabau.
Kemudian Raja Sang Sapurba itu membunuh si Kati Muno karena terlalu kasar memberi gelar kepada raja itu “ ular nan gadang, penghabis padi di ladang, sumbing mata pedangnya seratus sembilan puluh”.  Si Kati Muno itu postur tubuhnya tinggi-besar dan keras kulitnya. Panjang kuburannya dibuat orang enam puluh hasta. Sekarang dinamakan orang kuburan itu “ Kubur Datuk Tan Tejo Rono”, ninik orang suku Sikumbang di Periangan kini.
Setelah beberapa lama diterimalah daulat yang dipertuan itu kawin dengan saudara perempuan Datuk Suri Dirajo bernama “Indo Julita”. Kemudian turun daulat yang dipertuan di Periangan-Padangpanjang itu kepada Ceti Bilang Pandai agar mencari tanah daratan guna dibuat nagari. Maka turunlah Raja itu ke Tanah Bunga Setangkai (Sungai Tarab sekarang), membawa tujuh orang laki-laki dan tujuh orang perempuan, untuk membuat nagari ditempat itu. Kemudian ikut serta pula delapan orang laki-laki dan delapan orang perempuan. Maka berdirilah Raja menitah diatas batu dekat air Sungai Tarab, menyuruh orang-orang itu mengatur tiap-tiap dusun, koto dan nagari. Setelah itu Raja kembali (pulang) ke Periangan-Padangpanjang. Setelah beberapa lama maka lahirlah anak Indo Julita seorang laki-laki, dinamai “Sutan Paduko Besar”
Kemudian berpulang daulat yang dipertuan, lalu Indo Julita manikah dengan ninik Indo Jati, orang bertuah dalam nagari, tempat berguru dan bertanya.  Dari hasil pernikahan itu lahirlah dua orang putra dan empat orang putri.  Yang tua dari putranya itu dinamakan “Sutan Balun”  yang kemudian setelah dewasa bergelar “Perpatih Nan Sebatang”. Yang seorang lagi bernama “Simambang Sutan” , setelah dewasa bergelar “Seri Maharaja Nago Nan Sekelap Dunia”. Sedang yang  putri  bernama “Reno Mandah, Reno Sudi, Reno Judah dan tuan Gadis Jamilan” .

*)Sumber: Tambo Adat Alam Minangkabau oleh Ahmad Dt Batuah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar