Kamis, 09 Juli 2015

Gaya Hidup

Gaya Hidup : Bagaimana Pendidikan Menyikapinya ?
Situasi terkini…
Sedang berproses...
Manusia memiliki satu keinginan dan kerinduan terdalam di peziarahan hidup ini. Kerinduan dan keinginan itu adalah kebahagiaan. Mengapa ? Karena, kebahagian hidup manusia terletak pada kepemilikan makna akan hidupnya. Oleh karena itu, Kebahagiaan dimengerti dan diartikan sebagai kebermaknaan hidup. Dengan demikian, kebermaknaan hidup merupakan satu-satunya hasrat yang menyatukan segala kekuatan, ketegasan, dan kemampuan manusia dalam berproses di dunia ini. Dengan kata lain, kebermaknaan hidup merupakan arah dan tujuan seluruh kegiatan manusia.
Di satu sisi perjalanan hidup manusia, manusia itu adalah pribadi yang mendapati dirinya terlempar ke dunia ini, tanpa tahu dari mana dan hendak ke mana (Heidegger). Bagaikan seorang bayi yang tidak dapat memilih keluarga, orang tua, saudara-saudari, suku, negara, jenis kelamin, bentuk tubuh dan lain-lain. Manusia hanya tinggal menerima apa yang telah diberikan kepadanya. Keterlemparan manusia dalam dunia ini memperlihatkan adanya “kebelumsempurnaan “ dirinya. Inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Di mana, manusia pada dirinya adalah pribadi yang belum selesai “diciptakan”. Keterlemparan yang belum “sempurna” mendorong dan mengarahkan dirinya senantiasa belajar menuju kepada sebuah kesempurnaan, (baca kebermaknaan ).
Dalam rangka mencapai kebermaknaan hidupnya, manusia mengambil tindakan pembelajaran dengan cara peniruan, mimetik. Di mana, manusia melakukan segala macam peniruan-peniruan untuk membangun kehidupannya. Oleh karena, meniru adalah suatu sifat manusia semenjak usia muda, suatu sifat yang tertanam dalam kodrat dan tabiatnya (Aristoteles). Manusia adalah makhluk yang paling suka meniru dan ia mulai belajar justru dengan meniru dan awal dari peradaban manusia adalah sebuah proses peniruan dari alam. Dengan kata lain, peniruan merupakan sebuah proses pembelajaran manusia dalam membangun world view, wawasan keduniaannya. Lagipula, dengan meniru kita belajar, kita menambah pengetahuan dan itu merupakan kenikmatan yang paling besar bagi setiap pribadi.
“ Aku bergaya maka Aku ada..”
Proses peniruan yang dilakukan manusia tanpa disadari juga merupakan suatu proses penghasratan. Manusia menghasrati hal-hal yang dihasrati oleh kebanyakan orang. Bentuk hidup tertentu, komunitas pergaulan tertentu, kepemilikan artefak-artefak tertentu, obrolan tertentu dan lain sebagainya. Penghasratan ini sebagai wujud penyamaan dan penyeragaman yang memungkinkan pribadi dapat masuk, menjadi bagian dan hidup dengan yang lain pada umumnya seraya mencoba untuk mendefinisikan dirinya. Namun, dalam budaya kiwari, identitas itu sering kali tidak otentik karena merupakan merupakan hasil konstruksi pelbagai bangunan pencitraan yang ditawarkan oleh industri dunia. Pengadopsian peniruan sering merupakan suatu indikasi pemassalan yang disebabkan oleh ketidakmampuan menemukan jati diri. Bukan sesuatu yang alami, melainkan sesuatu yang dibangun, diciptakan, dikembangkan, dan digunakan untuk menampilkan sebuah bentuk citra diri duniawi. Di mana, pasar dan kapitalisme menjadi motor penggeraknya .
Pencitraan yang diciptakan dunia adalah cara membingkai dan membungkus dunia sedemikian rupa sehingga merangsang dan menggugah pandangan seorang tentang hidup berdasarkan tampilan penampilan tawaran dunia. Untuk itu, Dunia mendengungkan pencitraannya sebagai sesuatu yang utama dan sesuatu yang penting dalam hidup. Kebajikan-kebajikan manusiawi digantikan dengan kebajikan-kebajikan visual media dan industri. Pribadi ditampilkan dari citra penampakannya, tetapi citra itu tidak selalu merupakan kesejatian, karena penampilan itu pada saat bersamaan adalah bentuk penyembunyian dan pengingkaran sifat eksistensial yang lain, yang jelek, memalukan, dsb.
Semuanya itu mengindikasi proses penurunan mutu kehidupan manusia. Ketika dunia kehidupan dibingkai dalam format citra dunia, maka kesadaran terdalam manusia diobok-obok, dipengaruhi dan dicetak dalam bingkai citra tersebut, dengan segala sifat reduksionisme dan artifisialnya. Visi dan misi hidup manusia diambil alih dengan perlahan-lahan tapi pasti oleh visi dan misi dunia, dengan segala gambaran kesempurnaannya. Pada titik ini, manusia berjalan menuju ke arah ruang nihilisme, manusia hidup dalam subjektivitas palsu melalui dunia citra. Seluruh dunia dan kehidupan manusia diredusir ke dalam ontologi citra, sambil mengasingkan diri dari diri yang sesungguhnya. Dengan demikian, manusia mengalami keterasingan dengan dirinya, akhirnya manusia mendapati dirinya dalam keterpecahan. (David Michel Levin).
Susan Sontag melukiskan dengan indah mengenai manusia yang terjerat dalam jaring-jaring dunia citra. Manusia citra adalah manusia yang lebih memilih citra ketimbang benda, tiruan ketimbang asli, reprentasi ketimbang realitas, penampakan ketimbang eksitensi (being). Dengan memilih citra daripada keaslian diri sama dengan memilih kepalsuan daripada kebenaran diri. Saat itu, tampilan citra dirayakan, dipuja, dibangun, dipilih, dan diinternalisasikan. Maka, citra adalah sesuatu yang harus selalu dibangun dalam seluruh perjalanan hidup. Manusia berusaha mengejar citra dengan optimalitas kekuatannya. Dengan kata lain, penciptaan citra di jagat hidup manusia adalah suatu pembingkaian yang meminggirkan serentak menyembunyikan realitas dan kebenaran seraya meredusirnya sebagai realitas dan kebenaran yang dikonstruksi dalam dunia citra. Dengan demikian pencitraan melahirkan potensi membangun dunia tiada batas antara realitas dan ilusi, melahirkan simulasi yang meretas perbedaan antara yang sejati dan yang semu, kenyataan dan fantasi didekonstruksi dengan proses pengcopyan, pengimitasian ( Hyper-reality, Umberto Eco).
Pemujaan akan citra dengan tegas menciptakan dan menimbulkan berbagai macam krisis dalam kehidupan manusia. Manusia kehilangan kepandaian dan kelihaian Kebajikan Sang Kebijaksanaan Sejati untuk mengkritisi pemaknaan hidup yang maya atau sejati. Kesejatian melebur dan meyatu dengan yang kemayaan. Good (kebaikan) menyatu dengan goods (barang). Kita sangat bangga dengan kemeja yang dibeli di Armani Counter, Plaza Indonesia, karena citra kemejanya yang barang bermerek. Kebutuhan (need) sama dengan Keinginan (want). Kita tidak akan cukup hanya makan, melainkan mesti makan di MC Donald, restaurant yang sama dengan warung tegal di Indonesia, bukan karena burgernya yang enak tetapi karena citra yang menyelubunginya. Hasrat jiwa citra telah meracuni manusia dengan moto “ Aku adalah apa yang aku konsumsi” . “ Aku ada karena aku bergaya...”. Tingkatan kebutuhan Abraham Maslow dijungkirbalikan. Aktualisasi diri menjadi tingkatan pertama manusia. Diri sesungguhnya ditentukan oleh apa yang kita kenakan, kita pakai, kita pergunakan, kita ucapkan, kita tonton, kita makan, dan kita-kita lainnya.
Dunia citra yang dihidupi manusia ini pun ditandai dengan berbagai pergerakan, pergantian, dan perubahan dalam tempo yang cepat. Kecepatan mesin dunia citra ini menggiring manusia pada satu titik kehidupan. “Diam berarti mati” (Paul Virilio). Apabila kita tidak mengikuti segala macam tawaran dunia yang serba cepat melalui citra teknologi, mode, perangkat hidup, habitus terbaru, dll, maka kita akan mati, kita kuno, ketinggalan jaman. Ada sebuah iklan televisi menampilkan ketertinggalan manusia dengan menvisulisasikan secara sangat baik dengan judul “ Hari begini nggak punya HP “. Oleh karena itu, tawaran yang menghadang diri kita adalah tawaran kekinian yang terus berubah dan berubah dengan perputaran yang dashyat. Belum selesai kita memahami fasilitas Hp terbaru telah muncul fasilitas Hp yang terkini. Manusia diajak untuk mengejar dan berlari meraih kesemuanya itu. Akibatnya, Kehidupan dalam percepatan membawa pada kehampaan dan hanya sampai pada kebendaan. Waktu manusia hanya disibukkan dan dihabiskan untuk meraih percepatan citra tanpa berhenti sejenak bagi ruang kebermaknaan dan keluhuran. Percepatan pencitraan yang bekerja dalam alam bawah sadar kemanusian telah mempersempit makna dunia spiritualitas. Dengan demikian, dunia manusia kini ditentukan oleh having dan bukan being (bdk. Erich Fromm).
“ Terbius Kesempurnaan semu dan maya….”
Tiada hari tanpa citra “ kesempurnaan” dunia. Manusia menikmati dan sekaligus menelan jargon-jargon keagungan dan kesempurnaan dunia ini. Hal itu dilakukan melalui media komunikasi dan visual. Media menjadi saluran rahmat kebudayaan semu dunia. Pertunjukan visual dan audio telah memposisikan diri sebagai sebuah kepalsuan hidup yang dicuplik di atas panggung pertunjukkan agar para penikmat mengantongi ilusi kehidupan melalui mereka. Media-media itu tiada henti membordir dan membumi hanguskan kedirian manusia. Mereka menggubah citra kesejatian menjadi citra pasaran. Akhirnya, ruang lingkup dan waktu kesejarahan hidup manusia tiada lain adalah ruang lingkup dan waktu kesejarahan media. Manusia menjadi contoh hidup produk-produk dunia.
Menarik, fenomena itu digerakkan oleh satu mesin, “mesin hasrat pencitraan”. Mesin yang bekerja dan bermain dalam tataran psikis manusia. Kehasratan yang digoda dan digelitik yaitu; hasrat karnal dan hasrat libidal. Karnal adalah hasrat tubuh kepada segala sesuatu yang berbentuk material, harta benda, makanan, dll. Pembentukan hasrat karnal sangat tergantung pada sifat dasar dari obyek karnal itu (material) yang bersentuhan dengan tubuhnya. Hasrat libidal adalah hasrat tubuh kepada sesuatu yang sifatnya imaterial, harga diri, status, kelas, pangkat, pujian, pesona, dan segala yang berkaitan dengan hal imaterial. Dalam proses terjadinya, hasrat libidal lebih terarah pada dirinya sendiri, dorongan dan kepentingannya akan pemuasaan sang aku, ego (Alfathri Adlin). Kedua hasrat itu, dua sisi mata keping uang logam, bekerjasama (dipakai dunia pencitraan) membentuk dorongan hasrat yang terwujud dalam prilaku manusia.

“ Pendidikan keaktifan diri ”
Paparan di atas adalah sebuah panorama kekinian dunia manusia. Dimana kemanusiaan sejati diletakan pada sebuah “kesemuaan citra” yang ditopang, digerakkan, dan dikonstruksi oleh kapitalitisme dengan segala bentukannya. Bagaimana kita bersikap ? Catatan kecil ini mencoba untuk meneropong dalam kacamata pendidikan. Bagaimana pendidikan mencoba dan membantu kita untuk bersikap terhadap dunia kiwari. Mengawali pembahasan kita, ada baik kita memulainya dengan melihat rumusan tujuan sebuah pendidikan yang terdapat dalam UU RI tahun 1989 nomor 2. Rumusan itu mengarahkan pendidikan kepada suatu upaya proses pembentukan kecerdasaan menyeluruh pada diri pribadi manusia Indonesia. Bertolak dari perumusan ini, kita dapat mencari model pendidikan mana yang sekiranya dapat membantu dan menolong pencapaian tujuan pendidikan kita.
Pendidikan haruslah menciptakan dan membentuk manusia yang mengikuti proses pendidikan itu menjadi pribadi-pribadi yang berbudaya. Budaya harus diartikan sebagai wujud diri yang manusiawi. Berbudaya adalah manusiawi. Pribadi yang memiliki dimensi manusiawi. Oleh karena itu, pendidikan bukan sekedar penciptaan pribadi yang siap dalam lapangan kerja dan yang berorientasi pada pasar melainkan pribadi yang holistic, menyeluruh, matang, dan dewasa. Maka, proses pendidikan menjadi sesuatu yang penting dalam pembentukan karakteristik pribadi dan bukan berorientasi pada hasil dan prestasi semata.
Salah satu metode proses pendidikan itu adalah proses metode pendidikan yang didasarkan pada keaktifan diri. Proses ini berpangkal pada sebuah pemahaman mendasar bahwa mnusia adalah mahluk yang berproses, makhluk yang dinamis. Proses yang terjadi dalam diri manusia itu yang menandai sebuah perkembangan. Oleh sebab itu, pendidikan yang berproses merupakan sebuah usaha pendampingan terhadap para peserta didik sebagai pribadi yang hidup. Dimana, adanya ruang dan waktu bagi sebuah penghargaan kodrati bagi para peserta didik untuk bersifat aktif dan kreatif berproses dalam mewujudkan dan membentuk diri. Bahwa, proses pendidikan adalah proses perangsangan dan bimbingan perkembangan diri. Proses ini juga memberikan keterbukaan bagi para peserta didik untuk memproses perkembangan dirinya dalam ruang dan waktunya. Dengan kata lain, peserta didik, dipahami, sebagai mahluk yang hidup dan aktif berinteraksi dengan dunia sekitarnya tidak hanya untuk mempertahanan hidupnya, melainkan juga untuk dapat “ hidup baik” dan bahkan “ hidup lebih baik” , maka peran pendidikan formal lebih mengarahkan pada penciptaan jalan dan suasana yang mendukung bagi proses itu. Letak para pendidik, guru, orang tua, dan masyarakat, lebih bersifat sebaga pendamping atau pembantu daripada penentu sebuah keberhasilan pendidikan. Hal yang substansi dan mendasar dalam kerangka proses ini adalah aktifitas diri peserta didik dalam membentuk dan mewujudkan diri, bahkan perkembangan intelektual yang bernilai adalah pengembangan diri.

Penutup….
Pendidikan memerlukan sebuah ruang kebebasan dan kreatifitas yang menciptakan, mendorong, merangsang , dan memperkembangkan minat, inisiatif, dan imaginasi kreatifnya dalam diri peserta didik. Oleh sebab itu, kebebasan merupakan prasyarat mutlak terciptanya proses ini. Model kebebasan adalah kebebasan disertai dengan sebuah upaya pertanggung jawaban atas apa yang telah dilakukan dan itu, mengandaikan peserta didik dituntut memiliki sebuah reflektifitas terus menerus atas kehidupannya. Sehingga, tujuan pendidikan memang mengarah kepada penciptaan kebijaksanaan hidup dalam diri peserta didik, dan satu-satunya jalan mencapainya adalah kebebasan sebagai kebebasan untuk…
Akhirnya, pendidikan merupakan sebuah proses pendidikan pewujudan nilai yang diperoleh dari proses pergumulan diri yang penuh dinamika yang mengarahkan pribadi menjadi pribadi yang dewasa.

Situs Informasi Pendidikan Indonesia - Serba-Serbi Dunia Pendidikan : http://edu-articles.com/lama/
Versi Online : http://edu-articles.com/lama//?pilih=lihat&id=189Gaya Hidup

Tidak ada komentar:

Posting Komentar