Senin, 29 Juni 2015

Guru


Sore itu aku duduk-duduk bersama bapak di atas rumah gadang sambil menunggu beduk magrib berbunyi. Cuaca di luar terlihat mendung pertanda hujan akan segera turun. Tiba-tiba dihalaman rumah terlihat seorang nenek datang menjujung sebuah bakul yang ditutupi kain. Setelah mencuci kaki di dekat tangga, lalu beliau mengucapkan salam.
Kami yang melihat kedatangan beliau agak terheran-heran, ada apa  gerangan dengan nenek ini. Tapi kami tidak ada yang mau mendahului menanyakan maksud dan kedatangan beliau sore itu. Tidak lama kemudian bedugpun berbunyi dan azanpun berkumandang dari menara mesjid. Kami semua bersiap-siap untuk melaksanakan shalat magrib secara berjamaah.
Sehabis shalat bapak bedo’a, dan ibu mulai mempersiapkan hidangan makan bersama yang sudah menjadi kebiasaan keluarga. Sambil menunggu segala sesuatu terhidang, nenek tadi mengambil bakulnya dan mengeluarkan isi bakul beliau, lalu menyodorkan ketengah-tengah hidangan yang sudah terhidang. Lalu aku bertanya “bawa apa nek?”. “Gulai ayam. Deen nak mangaji ka guru!”, kata beliau. “Memang waktu muda dulu nenek tidak mengaji!”, kataku. “Lai (sudah), tapi kini ingin menambah kaji (pelajaran). Jika umur semakin tua, ingin sekali rasanya untuk mempersiapkan diri untuk bekal menuju akherat”, katanya. Dari penjelsan singkat nenek itu, bapakku sudah maklum maksud dan kedatangan beliau ini. Kemudian kamipun makan bersama.
Selesai makan bapak mulai membuka pembicaraan. Tentang Islam kan sudah dipahami. “sudah!”, kata nenek itu. Kini kita mempelajari tentang Iman.
Perkataan iman, ada yang mengatakan berasal dari katan “Aman” yaitu ketenangan atau ketenteraman. Adapun ketenangan dan ketenteraman ini, satu-satunya hal yang selalu dirindukan setiap makhluk di dunia maupun di akherat, di bumi maupun di langit. Dan tidak akan merasakan keamanan dan ketenangan pada dirinya, jika seseorang masih bimbang terhadap keadaan sekelilingnya. “Iyo itu banna nen nak di pelajari guru,” kata nenek itu menimpali penjelasan yang telah disampaikan. Arti iman dalam Islam ialah melindungi diri di bawah naungan Allah Swt dengan teguh memegang aqidah yang tersurat dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul SAW. Dan barang siapa yang ingin berlindung benar-benar dan tidak salah memilih perlindungan, hendaknya ia mempergunakan akal dalam memmahaminya, karena tidak akan dapat mencapainya dengan panca indra saja.
“Agama adalah akal. Dan tidak beragamalah seseorang yang tidak berakal” (Al-Hadits). Banyak diantara kita yang mengaku  bahwa dirinya benar-benar sudah mukmin, tetapi mereka tak menunjukkan ketenangan dan kehebatan. Hal ini disebabkan karena mereka kosong dari makrifat, sehingga selalu mereka dalam keadaan bimbang tanpa pendirian. Maka alangkah bijaksananya bila mereka belajar betul-betul tentang isi Al-Quran, supaya dirinya cocok dengan yang disabdakan Rasulullah: “Iman adalah pengertian yang yakin, kata-kata dan amalan sesuai dengan rukun-rukunnya” (Al-hadits).
Puncak ketinggian Iman itu sudah menjadi jelas dengan hadits tersebut.
Etiap orang mudah memeluk agama Islam, hanya dengan mengucapkan Kalimat Syahadat, lalu melakukan: Shalat, Puasa, Zakat dan Ibadah Haji. Tetapi alangkah payahnya menghujamkan makrifat ke lubuk hatinya agar menjadi yakin. Tidak bergunalah kalbu seorang Mukmin jika tidak berisi makrifat, karena mudah digoyahkan oleh sekecil-kecilnya gelombang situasi.
Tiap-tiap orang mudah menjadi muslim, tetapi tidak mudah menjadi Mukmin. Ada perbedaan asasi antara Islam dan Iman. Dalam hal ini Al-Quran menandaskan perbedaan keislaman dan Keimanan yang terdapat dalam diri orang-orang badwi.
“Kamu masih belum beriman. Kamu baru saja menyerah, karena dada-dada belumlah dihujami Iman” (Al-Hujurat ayat 14)
Ketika Rasulullah SAW memberi hadiah kepada seseorang, salah seorang sahabatnya memberi peringatan: “ Yaa Rasulullah, engkau lupa akan sifulan, sedang diapun seorang Mukmin?
“Apakah bukan Muslim?” sahut beliau. Sahabat itu mengulangi lagi pertanyaannya, tetapi jawaban beliau tetap.
Sungguh, pada umumnya amatlah mudah Islam itu, tetapi intinya adalah Iman. Tatkala Rasulullah SAW ditanya “Yaa Rasulullah, Amal apakah yang paling baik?” “Islam”, sahut beliau. Dan bahagian manakah paling utama daripadanya, Yaa Rasulullah?” “Ialah bahagian Iman”, sahut beliau.
Sangat banyak, lagi berat-berat adanya tuntutan-tuntutan Iman itu apabila kita telaah dengan teliti arti Sabda Rasulullah SAW itu: “Iman mempunyai lebih dari tujuh puluh tingkat”. Adapun yang tertinggi di antaranya; kalimat – tauhid yaitu “La Ilaha Illa-Llah”. Sedang  yang terendah yaitu menyisihkan gangguan dari tengah-tengah jalan.
Melaksanakan kalimat-tauhid, (Tauhid yang murni), tidaklah mudah, karena memerlukan makrifat yang cukup dan keyakinan, ketekunan dan khusyu’ (kewaspadaan) dan perjuangan bathin menghadapi dunia materi (zuhud).
Meskipun menyisihkan gangguan-gangguan dari jalan, adalah Iman yang terendah, tetapi tidak segala Muslim dapat melakukannya. Karena sombongnya dan jijik atau merasa hina membungkuk-bungkuk di hadapan umum. Padahal membungkuk-bungkuk yang dilakukan itu ada gunanya untuk keselamatan orang lain. Mungkin karena kewaspadaan, kita dapat menghindarkan diri dari gangguan di jalan itu, namun belum tentu lain orang yang melintasi jalan itu waspada, dimana kemudian ia dapat kecelakaan seperti terperosok ke dalam lubang atau menginjak kotoran najis dengan kakinya atau memijak paku ataupun pecahan kaca. Maka alangkah bijaksananya jika kita menginginkan kebajikan untuk orang lain dan juga untuk diri kita sendiri.
“Tidaklah beriman di antara kamu kepada Allah dan hari akhirat sehingga ia mencitai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri”. Rasulullah dengan Sabdanya tersebut, hendak mendidik umatnya dan mengangkat setingkat demi setingkat. Dan dimulainya dengan menghilangkan dahulu rasa takabur dan rasa acuh tak acuh tentang kesejahteraan umum. Maka akan lulus dan akan meningkat ke tingkat kedua, apabila seseorang dapat melakukan amal tadi dengan ikhlas.
Sungguh tidak ringan dan tidak sedikit adanya tuntutan-tuntutan Iman itu. Bukan angan-angan atau dongengan yang sering diucapkan oleh sebagian dari beo-beo mimbar. Iman ialah: derap langkah kegiatan yang seirama dengan semangat hidup.  Sabda Nabi Saw: “Iman, ialah yang termantep di hati dan dibuktikan dengan amal”. Iman tidaklah cukup sekedar diucapkan di bibir saja. Kita akan mendustai diri sendiri jika berbuat demikian.
Untuk memperdalam pemahaman kita tentang Iman ini, maka alangkah baiknya jika kita mengikuti percakapan antara Rasulullah Saw dengan  Haritsah yang diriwayatkan attabarani dari riwayat Alharits bin malik r.a:
Nabi Saw: “Hai haritsah, dari tiap-tiap sesuatu itu mengandung hakikat, maka apakah hakikat Imanmu itu?”
Haritsah r.a : “Kini aku sudah merasa muak. Pada tiap-tiap malam aku mengadakan renungan. Dan pada siang hari aku bekerja keras, sehingga seolah-olah aku melihat para ahli syurga di dalam syurga sedang saling berkunjung dan ahli neraka sedang menjerit-jerit.
Nabi Saw: ‘Engkau sudah bermakrifat, maka lanjutkanlah!”.
Demkian jika Iman sudah menghujam ke lubuk hati seseorang, niscaya tidak akan berwatak tamak lagi. Giat dan jujur dalam tugasnya. Menderas di waktu senggang. Maka terpancarlah di hatinya Nurul-iman itu, hingga seolah-olah kejadian-kejadian ghaib itu nampak baginya. Dia seolah-olah melihat sorotan Allah mengarah pada dirinya dan melihat para penghuni syurga dan para penghuni neraka. Dan kedua-duanya dibawah kekuasaanm Allah, maka bertakarublah ia, taat dan patuh kepada Allah dan rasulnya supaya dirinya selamat dari neraka dan menikmati syurga.

Kemudian azan Isya berkumandang, kamipun bersiap-siap untuk melakukan shalat berjamaah. Sesudah itu bapakku memberikan beberapa do’a untuk diamalkan oleh nenek itu setiap selesai shalat lima waktu. Mula-mula di bacakan lalu nenek itu mengulanginya. Sudah beberapa kali di ulangi tapi  masih saja belum hafal oleh nenek itu. Kemudian aku sadar bahwa jika belajar di waktu tua bagaikan menulis di atas air. Bagaikan menempel pasir ke pohon bambu. Disaat basah pasir itu bisa menempel. Tapi setelah kering, pasir itu akan rontok lagi. Masya-Allah.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar