Senin, 29 Juni 2015

Sepenggal Cerita Tambo Adat


Tambo ini disusun oleh Alm Ahmad Dt Batuah (Angku Guru Ahmad) pada bulan-bulan terakhir sebelum beliau menghadap Allah Swt. Naskah ini belum pernah di cetak dalam bentuk buku. Namun sebagian dari naskah ini pernah dimuat di Bulettin Suara Kinari terbitan dekade tahun 80-an, yang kemudian dihentikan pemuatannya karena sesuatu hal. Pada tahun 1996 Bulettin Suara Kinari edisi No.04 hingga edisi ke 11 tahun 1998, kembali menurunkan tulisan ini sebagiannya saja. Aku selaku redaktur waktu itu diberi kewenangan untuk mempublikasikannya oleh anak Alm Ahmad Dt Batuah, yaitu Alm. Drs H Syafiri Ahmad Mangkuto Alam.
Naskah ini dirampungkan Alm pada bulan Januari 1961, perobahan-perobahan yang terjadi selama 52 tahun seperti pemecahan suku Malayu menjadi 2 ( Suku Melayu dan Suku Panai), dan Suku Tanjung menjadi 2 ( Suku Tanjung dan Suku Sikumbang) adalah perkembangan yang terjadi selanjutnya.
Harapan kita dengan dimuatnya tulisan ini dapat nantinya menyegarkan kembali pengetahuan kita tentang adat. Disamping itu bagi generasi muda kiranya bermanfaat untuk mengetahui dan mempelajarinya. Selaku pemula sebagai anggota masyarakat yang tidak mungkin lepas dari keterkaitan terhadap adat istiadat.
Tulisan ini hanya pengulangan saja dari “sepenggal naskah”  yang sudah pernah dimuat tersebut. Semoga cerita tambo ini dapat memberi inspirasi, amiin ya Allah..., ya Rabbal Alamin.
Jika dicermati dengan seksama, maka disadari bahwa pengertian dasar tambo berbeda dengan sejarah, oleh karena itu perlu dimaklumi, apabila terdapat perbedaan baik yang ditemui dilapangan maupun dengan pengetahuan / pendengaran pembaca, ada baiknya untuk dibahas secara bersama oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) dengan pemuka-pemuka masyarakat. Hasil dari pembahasan tersebut selanjutnya dijadikan pegangan.
Asal Manusia Alam Minangkabau
Jika ada orang bertanya kepada kita, Sejak kapankah Alam Minangkabau ini mulai didiami manusia?, maka dapat dipastikan bahwa tidak ada yang dapat menjelaskannya dengan pasti. Tetapi ada suatu riwayat yang menceritakan dari mulut ke mulut bahwa: Pada masa dahulu kala antara benua Afrika dan benua Amerika, merupakan sebuah benua yang besar, namanya Benua Atlantik.
Pada zaman itu meletuslah sebuah gunung di benua tersebut, gempa besarpun terjadi,  kemudian dari tengah laut  muncul sebuah gelora yang maha besar (Tsunami) yang meluluh lantakkan semua yang menghalanginya, sehingga bumi saat itu jadi rata dengan tanah. Peristiwa maha dahsyat itu  dinamakan orang “Kiamat Nabi Nuh”.
Bumi seakan-akan tidak mati. Yang tersisa hanya nabi Nuh beserta anak-anaknya serta para pengikut-pengikutnya yang setia terhadap agama yang disampaikan Sang Nabi. Mereka bisa selamat dari peristiwa dahsyat itu karena menaiki sebuah perahu yang telah disiapkan nabi Nuh. Kemudian perahu itu dibawa naik oleh gelora besar hingga bersauh di puncak gunung Ararat di tanah Syam. Setelah air surut turunlah mereka kekaki gunung itu, lalu bermukim disitu.
Setelah beberapa lama kemudian mereka itu menjadi berkembang biak, lalu setengahnya pergi mencari tempat diam yang baru, mereka berombong-rombongan ketempat lain. Ada yang ke India sampai kebenua Cina dan lalu ke Jepang. Setengahnya jatuh ke Asia tengah, dari situ kebarat sampai ke Eropah dan setengahnya lagi jatuh ke Kaukasi sampai kepulau-pulau di Indonesia ini. Karena hawa disetiap  tempat dibumi ini berlain-lain, ada yang dingin dan ada yang panas, menjadilah kulit mereka itu berlain-lain pula menurut keadaan hawa itu. Ada yang putih, ada yang kuning, ada yang hitam, dan ada yang merah.
Diantara bangsa-bangsa itu ada yang cepat pandai membuat rumah tempat tinggal dan berusaha untuk kelangsungan hidupnya. Tetapi ada pula yang lambat pandainya, hanya hidup berkeliaran sepanjang padang dan rimba. Tempat diamnya didalam-dalam guha atau banir-banir kayu.
Adapun keadaan orang disinipun pada mulanya sebagai orang liar tiada bertempat tinggaal yang tetap, hanya berjalan kian kemari mencari tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang untuk dimakan. Demikianlah seterusnya hingga berabad-abad lamanya. Mereka terus berkembang dengan bergerak secara berombong-rombongan, akhirnya terpencar kesegala pelosok alam Minangkabau ini.

Mulanya bersawah berladang dan berkampung
Setelah beberapa lama diantaranya, sampailah ke tempat ini orang-orang dari India yang disebut dengan “Orang Hindu”. Mereka itu dapat berbaur dengan orang disini. Kemudian mereka mengajakan penduduk membuat sawah dan berladang. Akhirnya tiap-tiap rombongan orang berusaha mencari tanah yang baik untuk dijadikan ladang, sawah, untuk perumahan, untuk pekuburan, untuk memelihara dan melepaskan ternak. Kemudian kelompok/rombongan orang itu mulai berdiam ditempat yang baru dengan membuat “teratak”.
Untuk menjaga keamanan dan kenyamanan serta dapat terhindar dari serangan musuh, mereka lalu berkumpul mendirikan perkampungan diatas-atas bukit. Perkampungan itu dinamakan “dusun” berpagar aur berduri. Yang berasal dari satu-satu rombongan itulah yang kemudiannya dijadikan “satu buah perut” atau “satu ninik”, atau “satu induk”.
Disebelah kebaruh (kehilir) dari dusun yang diteruko itu dijadikan sawah, yang diari oleh air-air yang berasal dari bukit-bukit. Kemudian akhirnya disusun beberapa dusun hingga menjadi “koto”. Yang berasal dari masing-masing dusun dijadikan sebuah suku. Setelah penduduk semakin berkembang, sementara lahan garapan semakin tidak mencukupi lagi, maka setengahnya pergi ketempat lain mencari tempat yang baik untuk bersawah berladang dan membuat tempat diam disitu. Adakalanya seluruh kaum pindah ketempat yang baru itu, ada juga yang sebahagiannya saja karena sayang meninggalkan perkampungan yang telah diusahakannya itu.
Orang-orang yang mula-mula berusaha mencari tanah tempat berpindah itu kemudian diangkat jadi pemimpin yang digelarkan orang tua. Kemudian jabatan (pemimpin) itu dijadikan pengkat turun-temurun kepada anak-cucunya didalam kaumnya itu.
Setiap tanah yang telah dikuasai sehingga menjadi milik tiap-tiap orang atau tiap-tiap kaum itu diberinya tanda dengan menanamkan batu, semupakat kaum kedua belah pihak dan setahu orang tua-tua, dengan dibuat persumpahan dan persatiran, tak boleh “dianjak-anjak” (dipindah-pindahkan) dan robah-robah selamanya. Maka batu itu dinamakan “batu pesupadan”.
Kemudian kaum itupun telah berkembang biak, sehingga dibolehkan membagi tanah itu sesama kaumnya, itu yang disebut dengan “ganggam telah ber-untuk”(punya lahan garapan sendiri), hiduplah dengan “berpenghadap” (usaha) itu. Tetapi “yang keras” (seperti palak / ladang, perumahan, pekuburan, dan sejenisnya) sama memakai saja (dimanfaatkan secara bersama).
Lama-kelamaan rombongan-rombongan yang masih liar itu, meniru-meneladani (mencontoh) mereka yang sudah berusaha bertani. Sehingga akhirnya banyak yang jadi petani.
Dimana-mana setiap orang mendirikan teratak, lengkap dengan sawah ladangnya. Disana-sini berdiri teratak, dusun dan koto di alam ini. Antara masing-masing teratak, dusun dan koto ditentukan batas belantaknya. Biasanya punggung-punggung bukit dan anak-anak air yang dijadikan pesupadannya itu. Kita mengenal kini ‘ke bukit berguling air, ke lurah beranak sungai”
Kebiasaan Tolong-menolong
Dalam melangsungkan pekerjaan-pekerjaan, mereka itu semuanya dengan jalan bermufakat bertolong-tolongan sesama kaum, sesama sekampung, sesama sedusun atau seteratak, sekoto, sesuai menurut besarnya pekerjaan yang diperbuat. Adakalanya juga minta pertolongan lagi kedusun lain.
Dalam hal meneruko sawah, mereka itu bekerja bersama-sama, bertolong-tolongan sekaum-sekaum (seperut), itulah yang disebutkan “tembilang (pacul) sama tertegak, jahe sama terjelo (terhampar)”.
Mereka itu saling bantu-membantu dalam pekerjaan disawah, jika ada yang wafat, yang hidup akan menyelamatkan dan memiliki peninggalan itu. Kalau tidak ada lagi yang bertali darah (sdr sekandung), maka dicari saudara – saudaranya yang lebih dekat hubungannya (sejari, setampok, sejengkal, sehasta ataupun yang sedepa). Maka tidaklah boleh  tanah, sawah (pusako tinggi) itu berpindah diulayati oleh orang buah perut lain, apalagi oleh suku lain.
Pada masa itu hubungan pernikahan belumlah kokoh, hanya hubungan bersanak-saudara yang baru terjalin dengan kuat, maka setiap kegiatan dikerjakan  bersama  saudara-saudara seibu, senenek (bukan bersama antara  suami – istri ). Yang laki-laki jadi pemimpin kegiatan dalam bekerja mengolah tanah, sementara yang perempuan sebagai pemegang kunci penyimpanan hasil panennya. Itulah sebabnya sawah dan tanah-tanah itu turun kepada anak dari saudara perempuan (kemenakan).
Dalam melaksanakan pekerjaan yang lebih berat lagi, seperti mempersiapkan bahan-bahan bangunan untuk rumah gadang, mendirikan dan mengerjakannya dilakukan dengan cara bergotong-royong, dengan mengerahkan segala penduduk ditempat itu. Sehingga tidak ada perempuan yang tidak mempunyai rumah pada saat itu.
Apabila rumah itu telah selesai dibangun, maka diadakanlah perhelatan. Dipanggilkan tetua-tetua adat untuk menyampaikan pesan bahwa rumah tersebut tidak boleh dijual dan digadaikan oleh yang punya, kalau tidak dengan jalan yang sesuai menurut ketentuan adat.
Dengan cara bergotong-royong itu mereka melakukan semua pekerjaan seperti membangun jalan, membangun saluran irigasi untuk pertanian dan lain-lain. Setiap pekerjaan berat  dan pemeliharaannya agar berlangsung dengan tertib dan teratur,  maka ditunjuklah ketuanya. “ Rumah bertungganai, kampung ber-orang tuo, suku ber-penghulu”.
Kaum yang masih tinggal pada suatu dusun dengan kaumnya yang sudah berpindah ke tempat lain, tidaklah terputus hubungannya, “berdunsanak” dan boleh ulas-mengulas (sambung-menyambung) dan waris-mewarisi. Jika dikedua tempat itu telah sama-sama menjadi nagari, maka kedua belah pihak dinamakan “berbelahan”, yang juga boleh ulas-mengulas dan waris-mewarisi, asal bersedia pindah ketempat  dimana yang bersangkutan menerima waris tersebut. Apabila tempat perpindahan itu belum menjadi nagari (masih dusun/koto), adatnya mesti mengikuti adat nagari ditempat yang baru itu. (Karena dusun dan koto statusnya berada dibawah nagari). Segala sesuatu yang akan dikerjakan menurut adat, terlebih dahulu harus disepakati oleh penghulu dalam nagari tersebut.
Asal muasal terjadi Luhak
Dalam abad kelima ada tiga orang anak raja di Tanah Hindu, pergi keluar negerinya untuk mencari tanah jajahan. Seorang bernama Seri Maharaja Depang, ia pergi dengan beberapa orang rombongannya menuju kesebelah timur, ke-benua Cina, lalu menyeberang ke Tanah Jepang. Seorang lagi bernama Seri Maharaja Alif, ia pergi dengan rombongannya menuju kesebelah barat ke benua Rum Tanah Parsi lalu ke Eropah dan Afrika. Yang terakhir bernama Seri Maharaja Dirajata, ia berlayar dengan sebuah perahu menuju arah ke Matahari hidup, mencari tanah daratan, beserta lima orang isterinya dan sejumlah orang pengiringnya. Diantaranya ada yang digelarkan “Ceti Bilang Pandai” karena sangat terkenal kepandaiannya. Perlu diketahui bahwa gelaran Ceti Bilang Pandai itu mulanya hanya digelarkan pada orang Hindu saja, tetapi kemudian gelar-gelar itu juga dipakai oleh orang asli Minangkabau). Mereka itu semuanya adalah sekasta (sebangsa saja).
Rupanya para istri Raja itu berbeda-beda perangainya. Karena itu didalam tambo dinamakan sesuai dengan perangainya itu. Seorang disebut “Anak Raja” , karena merdeso dan sopan santunnya kepada Seri Maharaja. Seorang lagi disebut “Harimau Campo”, karena kelakuannya yang garang, dan berani melawan walaupun kepada Seri Maharaja. Seorang lagi disebut “Kambing Hutan”, karena suka berulam-ulam daun kayu dan memakan sirih. Seorangnya lagi disebut “Kucing Siam”, karena suka berjemur-jemur ditempat yang panas dan pemberengut (suka ngambek), sekalipun kepada Seri Maharaja.
Setelah beberapa lama berlayar maka sampailah perahu itu kepulau Andalas, pulau Perca namanya. Perahunya kandas pada suatu karang di Pesisir Barat Pulau ini, lalu rusak. Kemudian bermufakatlah segala isi perahu itu akan memperbaikinya dan Ceti-ceti Bilang pandaipun berpikir saat itu, bagaimana cara memperbaikinya. Maka bertitah daulat yang dipertuan kepada seluruh penumpang yang ada diperahu itu, titahnya “ Apabila baik perahu ini seperti semula, maka barang siapa yang megepalai pekerjaan itu akan aku ambil jadi menantuku”. Maka dengan berbagai upaya dikerahkan, agar perahu yang kandas itu bisa terapung kembali untuk meneruskan pelayarannya.   Setelah perahu itu merapat ketepi pantai, lalu merekapun turun ke darat, mencari perkampungan dan orang-orang yang tinggal didaerah itu.
Pada masa itu belum ada jalan yang dibuat orang. Karena takut nanti diikuti oleh musuh hingga ketempat tinggalnya. Karena itu mereka berjalan mengharungi rimba raya dan mendaki-daki bukit. Pada suatu hari terlihatlah oleh mereka itu ada asap mengepul keudara dari dipinggang gunung Berapi. Lalu mereka itu menuju kesana. Kemudian bertemulah mereka dengan orang yang telah membuat perkampungan disitu. Setelah berdamai mereka yang baru datang itu ikut pula berkampung disana. Karena kepandaian mereka yang baru datang itu lebih baik dari orang yang telah dulu berkampung disana. Akhirnya banyak ketentuan dan peraturan yang mereka buat agar tercipta berbagai kebaikan. Dengan demikian penduduk disitu amat suka bergaul dengan mereka itu, dan bersedia mengikuti peraturan-peraturan yang dibuatnya, sehingga kampung itu menjadi aman dan dusun-dusun tertata dengan rapi. (sampai sekarang masih ada bekas-bekasnya disebelah ke Periangan, ada disana bertanah datar, beraur duri, dan ada perkuburan ninik-ninik kita itu).
Disana itu ada dibuat  tiga buah sumur yang disebut “luhak”, sebagai tempat mengambil air minum dan mandi. Ada sebuah yang berada di tempat yang datar, dinamakan “Luhak Tanah Datar”, yaitu tempat mandi yang dipertuan. Sebuah luhak dinamakan “Luhak Agam”, karena ditempat itu banyak tumbuh tanaman agam. Luhak yang sebuah lagi, airnya jernih.
Hiliran dari ketiga sumur itu bertemu pada suatu tempat yang dinamakan “pertemuan” . Sebelah ke hilir Pertemuan itu bernama “Labuhan si Tembago” (labuh artinya jalan kecil).
Setelah cukup bulannya, kelima isteri raja itu melahirkan dengan masing-masing mendapat anak perempuan.
Semakin hari semakin banyak orang datang dan berkampung disitu. Jumlah pendudukpun akhirnya semakin bertambah jua. Sehingga ramai dan tertata dengan baik tempat itu.
Setelah para putri raja yang lima orang itu dewasa, maka mereka dikawinkan dengan lima orang Ceti Bilang Pandai yang telah berusaha memperbaiki perahu yang rusak dahulu. Lama-kelamaan tempat itu tidak lagi dapat menampung penduduk untuk bermukim disitu. Kemudian bermufakatlah Seri Maharaja dengan Ceti Bilang Pandai serta para Ninik disitu untuk mencari tempat pindah (lokasi baru). Juga berencana mengatur teratak-teratak menjadi dusun, dusun menjadi koto dalam alam ini.
Putri raja yang dikiaskan ”anak harimau”, beserta suaminya dan beberapa orang yang bersumur di luhak agam, turun ke balik Gunung Berapi dan masing-masing mencari dusun untuk tempat tinggal, lalu mereka bergaul dengan penduduk setempat. Kemudian dinamakanlah alam ini “Luhak Agam”.
Putri raja yang dikiaskan ”anak kambing”, beserta suaminya dan pengikut lima puluh orang ninik-ninik dari dusun itu, berpindah kehilir kebalik Gunung Sago. Diantaranya berlima orang terus ke Bangkinang membuat negeri disana bernama “Lima Kota”. Alam ini kemudian dinamakan “Luhak Lima Puluh”.  Ada juga yang mengartikan Luhak artinya kurang. Karena ninik-ninik ini telah kurang dari 50, maka dinamakan “Luhak Lima Puluh”.
Putri raja yang disebut sebagai “anak anjing”, bersama suaminya dan beberapa ninik-ninik yang mengikutinya, pindah ke Candung – Lasi.
Putri raja yang disebut sebagai “anak raja” tetap tinggal ditempat semula dan tempat itu dinamakan “ Luhak Tanah Datar”, kemudian mereka menata dusun dan koto-koto bahagian selatan Gunung Berapi.
Dari sinilah dikatakan Luhak Tanah Datar yang tua, dikiaskan airnya jernih, sayaknya landai, ikannya berkilatan, buminya dingin.
Luhak Agam yang tengah, dikiaskan airnya keruh, ikannya liar, makin diharu makin liar, buminya hangat (panas).
Luhak Lima Puluh disebut yang bungsu, dikiaskan airnya jernih, ikannya jinak, makin diharu makin jinak, buminya tawar.
Demikianlah simbol-simbol, ibarat, perumpamaan dan kiasan yang muncul. Untuk dipikirkan dan direnungkan.
Orang-orang hindu itu juga mengajarkan agamanya, termasuk seni dan budaya, sehingga sampai saat ini masih banyak orang yang meghormati dewa, hantu, jin dan setan. Mempercayai tempat-tempat sakti, batu-batu besar, kayu-kayu besar dan anak-anak air. “bertarak” (bertapa) juga dilakukan sebagian warga penduduk waktu itu. Mereka juga percaya akan ilmu kuat dan kebal, tuah atau celaka senjata, burung-burung, binatang-binatang, permata-permata dan yang lainnya.
Mereka juga mengajarkan kepada penduduk cara menghias diri, mengasah gigi, menyisir dan menata rambut (berbelah dua dari kening hingga puncak kepala, lalu menjalinnya), memberi lubang telinga untuk dipasangkan subang (anting).
Membuat rumah gadang, panjang beruang-ruang, puncaknya runcing melengkung keatas, tiap-tiap ruang ada puncaknya, ada acara dalam meletakkan puncaknya.
Akhirnya penduduk semakin bertambah banyak sehingga harus turun lagi membuat dusun ke Pertemuan. Lalu turun lagi membuat dusun di Lagundi Bida yang sering disebut “Lagundi Nan Baselo”. Tempatnya di atas nagari Periangan sekarang.
Kemudian disusun peraturan-peraturan dan cara-cara memelihara dusun beserta dan isinya yang disampaikan /disebutkan/diucapkan  dengan kata-kata kiasan antara lain:  “Disana ada yang bernama beringin songsang, disanalah nan bernama bukit nan tidak berangin, lurah nan tidak berair, bersirangkak hitam kuku, nan berbuayo hitam daguk. Disanalah mulanya tempat anjing menyalak, disanalah mulanya kedapatan banto berayun, alamat tanahnya subur yang cocok untuk dijadikan sawah”
Oleh ninik-ninik itu dibangun disana sawah setumpak gadang. Yang kemudian dinamakan “sawah gadang setampang benih” (sekarang mungkin namanya :Balai teknologi benih padi )  , jadi makanan orang luhak nan tigo waktu datang menghadiri rapat di Balai Nan Panjang, di Periangan.
Setelah beberapa lama kemudian, maka dusun itu menjadi “koto”, misalnya “koto kaciek”. Diantara Koto Kaciek dengan Gelundi/lagundi Nan Berselo terdapat sebuah sungai yang bernama “Batang Bangkaweh”. Itulah yang menjadi kata-kata kiasan, yang disebut dalam pidato adat: “aie gadang manangah koto, kilat-gemilat kasiek pasienyo, aienyo janieh, tapiannyo suci, batu gadanng basusun-susun, batu kaciek batindih-tindih, anak pinang bariritan, baringin riritan payuang, anak kubang salo-manyalo, tampaek ba nauang ka panasan, tampek ba taduah ka hujanan”.
Alam yang bagian selatan Gunung Berapi, yang bernama Luhak Tanah Datar, terdiri dari beberapa bagian dengan nama : Ranah Batu Sangkar, Batipuh Sepuluh Koto, Lintau dan Buo, kemudian terus ke Sumpur Kudus. Termasuk juga Nan Duo Puluh Koto, Kubuang Tigo Baleh, lalu terus ke Ranah Sungai Pagu. Kebesarannya berdaulat yang dipertuan, Raja Alam, yaitu Raja Pagaruyung.
Alam di balik Gunung Berapi dan Gunung Singgalang, yaitu menjadi Luhak Agam, kemudian berangsur-angsur  menelusuri Bukit Barisan ke utara hingga ke Gunung Pasaman. Wilayah ini bernama “Agam Tuo, Tujuh Lurah Delapan Koto, termasuk Lawang dengan Matur, lalu menurun ke Maninjau, Empat Koto jo Anam Koto, Bonjol jo Kumpulan. Ada pula yang jatuh (menurun hingga ke bawah) ke Suliki”. Luhak Agam kebesarannya ‘berorang Gadang”. Disaat Alam dibagi tiga Luhak. Luhak Agam diperintah urang gadang dari Batipuh. “ nan malenggang tidak terhempas, tegak tidak tersondak, orang beraja dihatinya, orang bersutan dimatanya”, bergelar “Harimau Campo Piliang”.
Alam yang di Hilir dibalik Gunung Sago, bernama “Luhak Lima Puluh”.  Didalamnya terdapat  3 bahagian wilayah: pertama, bernama Luhak, kedua bernama Ranah, dan Ketiga bernama Laras.
I.                    Yang bernama Luhak mulai dari Simalanggang (Nama simalanggang berasal dari Sumur Unggang) sampai ke Jaram. Di dalamnya termasuk, Buayan - Sungai Belantik, Sarik- Tambun Tajak, Kota Tengah – Batu Hampar, Durian Gadang – Babai, Kota Tinggi – Air Tabit, Sungai Gamuyang, Situjuh, Bandar Dalam, Limbuhan. Padang Kerambil, Sicincin – Aur Kuning, Jiakar – Payo Basung, Jaram – Bukit Limbuku, tigo jo Batu Balang, Payakumbuh – Koto Nan Gadang.
II.                  Yang bernama Ranah, mulai dari Simalanggang sampai ke Tebing Tinggi – Mungkar. Di dalamnya termasuk: Ganting – Koto Laweh, Suliki, Sungai Rimbang, Tiahar – Balai Manaira, Tajeh – Simalanggang, Piobang – Sungai baringin, Gurun – Lubuk Batingkok, Tarantang jo Sarilamak, Salak – Padang Laweh.
III.                Yang bernama Laras, mulai dari Jaram sampai ke Pauh Tinggi. Di dalamnya termasuk: Gadut – Tebing Tinggi, Sitonang – Muara Lakin, Halaban jo Ampalu, Surau – Labuh Gunung. Kebesarannya “berdatuk”.  Setinggi-tinggi pangkat adat ialah “Datuk” oleh karena itu disebut “Datuk Laras - datuk juo, Datuk Palo - datuk juo, Datuk Suhu – datuk juo, Datuk Adat – datuk juo”.
Penduduk dari Luhak Agam ada yang menurun ke Padang, ke Ulakan, Kurai Taji, Tiku, Pariaman, sampai ke Sikilang, Air Bangis.
Penduduk dari Tanah Datar dan Batipuh Sepuluh Koto ada yang menurun ke Padang, Ujung Karang, Pauh, Koto Tangah, Sintuk, Lubuk Alung, Toboh, Pakandangan, Ulakan, Kurai Taji, dan Pariaman.
Penduduk Kubuang Tigo Baleh ada yang menurun ke Padang, Pauh, Koto Tangah, Bayang, Tarusan, Salido, Painan dan Batang Kapeh.
Penduduk Ranah Sungai Pagu ada yang menurun ke Tarusan, Salido, hingga Air Haji  kemari (ke arah utara)
Penduduk Luhak Lima Puluh ada yang ke Kuoh, Bangkinang, Salo, Air Tiris, hingga ke Rumbio.
Rantau yang lima ini disebut “Limo Kabung Air” yang beraja ke Bandar Siak, ber-bapa (berbako) ke ke Limo Puluh, ber-ibu ke Pagar Ruyung . Balainya ke Pangkalan Koto Baru.
Raja Siak memungut hak dacing pengeluaran, ubur-ubur gantung kemudi di pesisir dan di laut sebelah timur yang akan jadi penghasilan Raja Pagar Ruyung.
Dari Luhak Nan Tigo itu sebagian penduduk menghilir ke Rantau yang bernama Rantau Mudik dan Rantau Hilir.
Rantau Hilir itu yang berada disebelah timur Luhak, yaitu: “mulai dari Muara Takung Hilir, dari Tanjung Simalidu Mudik dan Pulau Punjung, Siguntur, Sungai Jambu, Lubuk Ulang-Aling, Durian Silung, Lubuk Gadang, Nangko, Akar Japang, Lubuk Malako, Bidarak Alam, Muaro Iku, Abai, Dusun Tengah, Sungai Kunyit, Koto Rambau, Buluh Kasok dan banyak lagi rantau sebelah kehilir”.
Yang sebelah ke Kampar: Kampar Kiri, Kampar Kanan, Pangkalan dan Gunung Sahilan, Kuantan, Batang Hari, Siak-Indera Giri, bahkan ada yang merantau ke Tanah Malaka. Disitu sampai sekarang ada yang bernama Rantau Minangkabau, beradat pusako kepada kemenakan, yaitu Negeri Sembilan.
Yang bernama Rantau Mudik, ialah yang sebelah ke barat, yaitu : “Pesisir nan Panjang, yakni sekalian kuala, teluk, labuhan, dari laur Indera Pura, lalu ke Bandar Nan Sepuluh”, didalamnya termasuk “ Bayang, Pulut-pulut, Taratak, Terusan, Lumpo, Selido, Painan, Batang Kapeh, Surantih Amping Parak, Kambang, Lakitan, Sungai Tunu, Punggasan, Air Haji, sampai ke Teluk Labuhan Tigo, lalu kerantau Sikudidi. Rantau Tiku, Pariaman, Rantau Pasaman didalamnya meliputi: Padang, Ujung Karang, Pauh, Koto Tangah, Sintuk, Lubuk Alung, Toboh, Pakandangan, Ulakan, Kurai Taji, Tujuh Koto, Delapan Koto, Tiku, Pariaman, lalu ke Sikilang, Air Bangis, Gunung Melintang”, menghilir ke tanah darat: “Panti, Rao, Lubuk sikaping, lalu ke Batu Bersurat, Sialang, Belantak Besi, Gunung Patah Sembilan, hingga sampai ke Durian Takuk Rajo” yang berbatas dengan Jambi.
Nagari-nagari di luhak nan tigo itu desebut nagari yang tuo, sedangkan nagari-nagari itu, masuk sumando kenagari-nagari dalam luhak. Karena anak tak boleh kawin dengan ibu.
Begitu juga sesama nagari-nagari didalam luhak, nagari-nagari yang lebih tua tidak menerima sumando ke negeri-negeri yang lebih muda dari padanya. Adik tidak boleh mengawini kakak.
Mendirikan nagari Periangan–Padangpanjang
Dalam abad ketiga belas, ada seorang raja turun dari Tanah Hindu Bernama “Sang Sapurba”. Hingga sampai di Bukit Siguntang-guntang di Tanah Palembang. Kemudian dia mempunyai 4 orang anak  ( 2 laki-laki, dan 2 perempuan). Seorang anak laki-laki itu bernama “Sang Nila Utama” dan seorang lagi bernama “Sang Maniaka” . Yang perempuan bernama “Cindra Dewi dan Bilul Daun”.
Sang Nila Utama pergi berlayar lalu kemudian mendirikan negeri Singapura.
Pada tahun 1160 sampai tahun 1223 diperintah oleh raja Seri Pikrama Wira Raja.
Pada tahun 1223 sampai tahun 1236 diperintah oleh raja Sri Rama Wikrama.
Pada tahun 1236 sampai tahun 1249 diperintah oleh raja Sri Maharaja.
Karena dialahkan (mendapat tekanan) dari kerajaan Mojopahit, pada tahun 1252 Sri Iskandar Syah pindah dan mendirikan negeri Malaka. (negeri ini sesudah dihancurkan tentara dari Mojopahit, akhirnya menjadi rimba raya, menjadi tempat bersembunyi perampok Lanun (bajak Laut). Kemudian dalam tahun 1812 dibangun kembali oleh Rafles yang berasal dari Inggeris).
Sedangkan Sang Sapurba pergi berlayar, akhirnya masuk ke Sungai Indera Giri sebelum abad ketiga belas (menjelang penghabisan abad ke tiga belas) . Lalu mudik sampailah ke Koto Lagundi Nan Baselo, beserta rombongan yang banyak pengiring/pengikutnya. Raja Sang Sapurba itu memakai mahkota yang bercabang-cabang bentuknya. Raja itulah yang dikatakan dengan kiasan “rusa” karena mahkotanya seperti tanduk rusa. Maka terkagum dan tercenganglah orang yang melihatnya.
Pada suatu hari memohonlah untuk bertemu dan berbicara kepada Datuk Suri Diraja seseorang putra raja Seri Maharaja yang menjadi pimpinan dalam koto Lagundi Nan  Barselo itu. Ia seorang  yang arif-bijaksana dan termasyhur di Luhak Nan Tigo karena berpengalaman dan berpengatahuan yang luas . Ia telah mendapat ilmu selama bertarak (bertapa)  di tubing batu di Gunung Berapi.
Kemudian raja itu diterima kedatangannya dengan membuat acara beriang-riang (bersuka-cita). Akhirnya dinamailah tempat itu  dengan nama “Periangan”. Ada juga yang mengatakan bahwa “Perhiangan” artinya tempat Hiang (dewa). Tetapi sebenarnya penduduk disitu tidak suka berajakan dia. Namun ketidak sukaan itu, tersampaikan  dalam kata-kata kiasan, seperti ini: “Maka bermufakatlah segala isi nagari itu seluruhnya untuk membuat balai-balairung panjang, tempat daulat yang dipertuan menitahkan kata Raja itu kepada Ceti Bilang Pandai. Balairung itu bertiangkan teras jelatang,  berperan akar lundang, bertabuh pulut-pulut, digetang kulit  tuma, bergendang seliguri, dan janang sata haji perbuatan raja jin nan berdiam dirimba lawang. Balairung itu kemudian dihiasi dengan tikar daun hilalang. Maka dikeluarkan Allah Ta’ala celempong (talempong) Cani, ialah perbuatan sigulambai rajo tunggal”. Artinya orang tidak akan menempatkan tanda kebesaran dan kemuliaan untuk Raja itu.
Maka senanglah hati Raja itu, ialah Raja Natan Sang Sita Sangkakala, “bermahkotakan emas berumbai-umbaikan mutiara, bertatahkan ratna mutu manikam. Ialah Raja yang menaruh emas sejata-jati, patah diluhak perdagangan. Ialah Raja yang menaruh emas khudratullah dua belas mutu dan emas seperti manusia. Ialah Ialah Raja yang menaruh corek-cumandang kiri, singar-singarnya seratus emas, panjangnya Sekati Muno. Ialah Raja yang menaruh sungai emas. Ialah Raja yang menaruh Bukit Bergombak. Ialah yang menaruh tikar daun hilalang. Ialah Raja yang menaruh balai batu. Ialah Raja yang menaruh tabuh pulut-pulut, yang digetang dengan kulit tuma. Ialah Raja yang menaruh balai teras jelatang. Ialah Raja yang menaruh paran akar-akar lundang. Ialah Raja yang menaruh kuda sembrani. Ialah Raja yang menaruh gunung berapi sendirinya. Ialah Raja menaruh bunga seri-menyeri, baunya setahun perjalanan. Ialah Raja yang menaruh taring emas. Ialah Raja yang menaruh kipas batu. Ialah Raja yang menaruh buluh perindu, tempat segala burung mati. Ialah Raja yang menaruh beberapa kebesaran dan kemuliaan dengan berbagai macam ragam jumlahnya”. Artinya Raja itu tidak mempunyai kebesaran dan kekayaan (harta).
Karena orang Periangan tidak mau mengangkatnya jadi raja, maka pindahlah ia ke Batu Gadang, dengan menyandang pedang panjang melalui Padang rumput yang panjang. Maka oleh Datuk Suri Dirajo dinamai kota itu Padang-Panjang. Keduanya disebut “Periangan-Padangpanjang”. Dengan arti sesungguhnya bahwa Raja yang pindah ke Batu Gadang itu, tidaklah tempat itu dapat dikuasai oleh Raja, melainkan tempat itu masih termasuk wilayah kekuasaan Periangan juga.
Kemudian bermufakatlah seluruh penduduk koto Periangan-Padangpanjang itu untuk memberi nama “nagari” dan mengangkat pengulu-pengulu pada kedua negeri itu. Ada 4 orang yang akan dinobatkan yaitu: Datuk Seri Maharajo, Datuk Maharajo Besar, Datuk Bandaharo Kayo dan Datuk Sutan Maharajo Besar. Itulah orang yang menjadi kepala, yang pertama sekali memakai kebesaran negeri yang dua itu, pada zaman dahulunya sebelum ada Ninik Ketumanggungan dan Ninik Perpatih Nan Sebatang.
Kemudian dibangunlah balai tempat menyelenggarakan rapat bagi pengulu-pengulu dan cerdik-pandai. Itulah balai asal di Alam Minangkabau.
Kemudian Raja Sang Sapurba itu membunuh si Kati Muno karena terlalu kasar memberi gelar kepada raja itu “ ular nan gadang, penghabis padi di ladang, sumbing mata pedangnya seratus sembilan puluh”.  Si Kati Muno itu postur tubuhnya tinggi-besar dan keras kulitnya. Panjang kuburannya dibuat orang enam puluh hasta. Sekarang dinamakan orang kuburan itu “ Kubur Datuk Tan Tejo Rono”, ninik orang suku Sikumbang di Periangan kini.
Setelah beberapa lama diterimalah daulat yang dipertuan itu kawin dengan saudara perempuan Datuk Suri Dirajo bernama “Indo Julita”. Kemudian turun daulat yang dipertuan di Periangan-Padangpanjang itu kepada Ceti Bilang Pandai agar mencari tanah daratan guna dibuat nagari. Maka turunlah Raja itu ke Tanah Bunga Setangkai (Sungai Tarab sekarang), membawa tujuh orang laki-laki dan tujuh orang perempuan, untuk membuat nagari ditempat itu. Kemudian ikut serta pula delapan orang laki-laki dan delapan orang perempuan. Maka berdirilah Raja menitah diatas batu dekat air Sungai Tarab, menyuruh orang-orang itu mengatur tiap-tiap dusun, koto dan nagari. Setelah itu Raja kembali (pulang) ke Periangan-Padangpanjang. Setelah beberapa lama maka lahirlah anak Indo Julita seorang laki-laki, dinamai “Sutan Paduko Besar”
Kemudian berpulang daulat yang dipertuan, lalu Indo Julita manikah dengan ninik Indo Jati, orang bertuah dalam nagari, tempat berguru dan bertanya.  Dari hasil pernikahan itu lahirlah dua orang putra dan empat orang putri.  Yang tua dari putranya itu dinamakan “Sutan Balun”  yang kemudian setelah dewasa bergelar “Perpatih Nan Sebatang”. Yang seorang lagi bernama “Simambang Sutan” , setelah dewasa bergelar “Seri Maharaja Nago Nan Sekelap Dunia”. Sedang yang  putri  bernama “Reno Mandah, Reno Sudi, Reno Judah dan tuan Gadis Jamilan” .
Riwayat Perpatih Nan sebatang
Ketika Perpatih Nan Sebatang masih kecil, sering berkelahi dan bergelut-ampai, amun-mengamun dengan Ketemang-gungan. Kepala Perpatih Nan Sebatang itu luka sebelah kanan, karena dipukul Ketemanggungan.
Pada suatu masa ninik Indo Jati pergi bertapa pada suatu tempat dirimba raya. Tidak lama kemudian bertanyalah Sutan Balun kepada ibunya, kemana bapaknya. Kata ibunya: “ jika engkau mau pergi mencari bapakmu, pergilah masuk rimba raya itu. Bila nanti terdengar burung elang berkulit (terbang sambil bersuara, ku…liiit, ku..liiii…it bunyi siulannya), maka menyerulah engkau disana !”
Lalu Sutan Balun berjalan masuk rimba raya, dan sampailah ia dekat sebatang kayu besar, dan berhenti disana. Kemudian ia memanggil ayahnya , maka datanglah ayahnya Indo Jati , lalu dipeluk dan diciumnya anaknya itu. Kata Indo Jati akulah ayahmu, tinggallah engkau disini dengan aku, nanti kamu akan diajari ilmu-kuat kebal, adat baso-basi dan lain-lain kepandaian. Maka tinggallah Sutan Balun disitu belajar bermacam-macam ilmu dan kepandaian. Setelah lengkap semuanya, pulanglah ia kepada ibunya dan meminta izin hendak berjalan kenegeri lain.
Setelah itu berjalanlah ia ke rantau Tiku – Pariaman. Disana ia menepat (tinggal) dirumah Tuan Machudum. Sedangkan rajanya ketika itu bertempat di Limau Kapas bergelar Tuanku Rajo Tuo, ialah ninik si Tunggal Magek Jabang. Maka Sutan Balun diambil anak (anak angkat)  oleh Tuanku Rajo Tuo, karena ia pandai sekali diadat beraja-raja, adat angkat sembah (pidato pasambahan), dan pandai pula dibaso-baso (berbasa-basi).

Asal Pusako kepada kemenakan
Setelah beberapa lama Sutan Balun disitu, pada suatu hari Tuanku Rajo Tuo membuat sebuah perahu. Setelah perahu itu selasai, lalu akan diturunkan ke Kuala. Untuk menarik perahu itu kekefrahkanlah semua penduduk, namun perahu itu tidak mau beranjak dari galangannya, karena Sutan Balun dengan kepandaian bathinnya (kanuragan), meminta si Kati Muno untuk memegang dan menahan perahu itu, hingga tidak bisa bergerak sama sekali.
Maka bertanyalah Tuanku Rajo Tuo : “masih adakah orang dalam negeri yang belum ikut membantu menghela perahu ini ?” kata Syahbandar ketika itu: “Ada, Tuanku. Seorang anak muda yang tinggal dirumah Tuanku”.  Maka dipanggilah Sutan Balun, kemudian diadakan rapat segala isi negeri (semua penduduk) dengan memotong seekor kerbau. Kemudian harinya dicoba lagi menghela perahu itu bersama-sama, namun perahu itu masih belum bisa bergerak. Maka ditanyalah Sutan Balun oleh Tuanku Rajo Tuo: “Bisakah perahu itu dihela dan diluncurkan?”. Sutan Balun menjawab: “ jika hamba sendiri yang menghelanya (menariknya) mudah-mudahan bisa”.
Mula-mula dibakarnya kemenyan, diasapnya perahu itu berkeliling, lalu dicobanya untuk menariknya seorang diri. Tetapi perahu itu tetap diam ditempatnya. Maka berkatalah Sutan Balun kepada Tuanku Rajo Tuo: “Perahu ini akan mau turun ke Kuala jika berkalang (landasannya) dengan orang, tetapi hanya anak atau kemenakan yang harus menjadi kalangnya. Jika tidak demikian, perahu ini tidak akan bisa turun (diluncurkan) ke Kuala”. Mendengar persyaratan yang disampaikan itu, maka dipanggillah anaknya oleh Tuanku Rajo Tuo, tetapi anaknya tidak mau, karena dilarang oleh mamaknya. Kemudian Tuanku Rajo Tuo memanggil kemenakannya, dia datang dan bersedia jadi “kalang”(bantalan) perahu itu. Dibawanya alat pakaian semuanya dengan kasur-bantalnya sebagai kalang, sebab disangkanya dia akan mati. Setelah dibentangkannya,  dan ia tidur diatas kasur dihadapan perahu itu. Kemudian dilecutlah (dicambuk) perahu itu oleh Sutan Balun dengan lidi tujuh batang (helai)  , lalu meluncurlah perahu itu terjun ke Kuala, tanpa melukai kemenakan Tuanku Rajo Tuo yang jadi kalangnya tadi.
Maka ketika itu berkatalah Ceti Bilang Pandai (seorang cerdik pandai) yang jadi menteri Tuanku Rajo Tuo, katanya: “Adapun sejak dahulu sampai sekarang, pusaka harta-benda, sawah-ladang, emas-perak turun kepada anak semuanya. Maka mulai hari ini dan seterusnya,  tidak akan ada lagi harta-pusaka  yang harus turun kepada anak, tetapi harus kepada kemenakan turunnya pusaka harta-benda, sawah-ladang, emas-perak, semuanya. Karena anak itu hanya mau bertanggung jawab dalam yang baik-baik saja, sedangkan persoalan yang buruk dan rumit dia tidak bersedia, karena dilarang oleh mamaknya. Adapun kemenakan bersedia dan mau menanggung buruk atau baiknya, walaupun nyawa taruhannya.” Karena itulah maka pusaka beralih turun kepada kemenakan.
Mulai sejak itu Tuanku Rajo Tuo memberi pakaian kepada kemenakannya dan juga kepada Sutan Balun, sebagai tanda persaudaraan antara kemenakannya dengan Sutan Balun. Sutan Balun kemudian diangkat sebagai kemenakan kandung oleh Tuanku Rajo Tuo. Akhirnya mereka tinggal di nagari itu berama-sama.
(Ada pula orang yang mengatakan : “Pusako itu turun kepada nan akan meanakkan sebutannya, “kema-anak-an”, yaitu perempuan dalam kaumnya. Sedangkan laki-laki hanya menolong dan menjaga saja).
Pada zaman dahulu di tanah Hindu adalah yang disebutkan tanah Melayu, pusakonya kepada kemanakan dan yang empunya harta ialah yang perempuan. Maka adat itu dibawa ke Minangkabau ini oleh mereka itu, hingga berlakulah adat itu di alam ini.
Pada masa Lebai Panjang Janggut mengembangkan agama Islam, dia mau memberlakukan hukum syara’ disini. Pusaka diobahnya supaya turun kepada anak (hukum waris), menurut agama Islam. Kemudian oleh inyiek Perpatih Nan Sebatang dirobahnya kembali kepada kemanakan.
Adat pusako kepada kemanakan itu ialah supaya kemanakan itu berhati sayang kepada mamaknya, selalu patuh dan taat kepada apa yang diperintahkan mamaknya. (“Kamanakan saparentah mamak”).  Menghentikan apa yang dilarang mamaknya. Mamak itulah yang mengawasi dan mendidik kemanakannya agar tidak menjadi orang jahat, dan suka berbuat huru-hara dalam nagari. Karena nanti yang akan bertanggung jawab terhadap kelakuannya dimuka umum adalah mamaknya itu, baik berupa hukum denda dan sebagainya.
Sutan Balun bergelar Perpatih Nan Sebatang
Ada sebuah perahu yang mau berlayar ke Pulau Selon, dan akan menyinggahi, berbagai teluk dan pelabuhan sepanjang pantai barat pulau Andalas, lalu ke Aceh. Sutan Balun mau  menumpang berlayar dengan perahu itu untuk menuju kesana. Sejak dari pagi buta Sutan Balun sudah di tunggu, namun tidak juga datang, akhirnya keluarlah perahu itu dari Kuala. Setibanya Sutan Balun ditepi Kuala perahu itu sudah berada ditengah laut.  Kemudian dipanahnya perahu itu, di bacanya ilmu bathin meminta si Kati Muno untuk memegang dan menahan perahu itu, agar tidak berlayar ke tengah laut. Kemudian nakhoda perahu itu berkata: “ Kita kan sudah berjanji akan membawa penumpang seorang anak muda yang datang dari Darat itu, untuk itu mari kita tunggu dia di Kuala, kemudian perahu itu berbalik arah kembali ke kuala. Setiba di tepi, maka naiklah Sutan Balun ke perahu itu dengan membawa semua pakaian yang diberikan oleh Tuanku Rajo Tuo itu, akhirnya berlayarlah perahu itu.
Setibanya ditengah laut, Sutan Balun mendengar pertengkaran mulut antara dinding dengan susuk. Kata dinding: “karena kehadiran hambalah perahu ini dapat berlayar”. Kata susuk: “karena kehadiran hambalah maka dapat berlayar”. Percakapan itu didengar sendiri oleh Sutan Balun. Kemudian pergilah dinding dan tinggallah susuk. Setiba di pelabuhan singgah yang pertama, nakhoda menyuruh Sutan Balun keluar dari perahu itu. Kata Sutan Balun: “Mengapa hamba disuruh keluar, perahu ini beserta isinya hamba yang punya”. Maka pertengkaran mulutpun semakin menjadi-jadi, hingga keduanya mengaku bahwa perahu itu dibawah pengawasannya. Akhirnya keduanya meminta hukum kepada Datuk Syahbandar. Kemudian ditanyalah keduanya: Bagaimana  dengan perahu ini ? kata nakhoda: “hamba tahu segala perkakas perahu ini, semuanya cukup, sebuah pasakpun tiada kurang” Kata Sutan Balun: “perahu ini serta sekalian perkakas dan segala pasak-pasaknya lengkap semua, tetapi perahu hamba ini kurang sedikit, tidak berdinding, hanya susuk saja yang ada”.
Akhirnya perahu itu diperiksa dengan teliti, maka diketahui bahwa perahu itu tiada berdinding, hanya susuk saja yang ada. Lalu diputuskanlah secara hukum bahwa yang berwenang pada perahu itu ialah Sutan Balun, karena berkata benar.
Kemudian berlayarlah Sutan Balun dengan perahu itu bersama anak  buahnya. Suatu ketika ia mendapat sebatang kayu ditengah laut Lengkapuri, berisi didalamnya pahat, beliung dan segala alat besi perkakas tukang. Sejak itu digelarkanlah Sutan Balun “Perpatih Nan Sebatang”.
Sepeninggal Perpatih Sebatang pergi berlayar, teman berkelahinya masa kecil sudah menginjak dewasa, dan sepakatlah semua penduduk untuk mengangkat seorang penghulu yaitu anak raja yang bernama Sutan Paduka Besar degan gelar Datuk Ketemenggungan di Periangan. Kemudian diangkat pula si Mambang Sutan menjadi penghulu di Tanah Datar dengan gelar Datuk Sri Maharajo Nan Sekelap Dunia.
Sejak itu berangsur-angsur koto menjadi negeri dan diangkat penghulu dalam tiap suku dinegeri-negeri dalam tiga luhak, dan tiap-tiap rantau diberi beraja. Karena penduduk kampung-kampung dan negeri-negeri dirantau berasal turun dari beberapa suku dalam Luhak Nan Tigo. Dimana-mana rantau yang telah cukup bersuku diangkat pula penghulu dibawah raja itu. (Catatan : Raja dirantau sama kedudukannya dengan penghulu di Luhak Nan Tigo)
Alam dibagi dua kelarasan
Setelah beberapa lama Perpatih Nan Sebatang berlayar berkeliling ke Tanah Malaka sampai ke Birma dan ke Siam, maka kembalilah ia pulang ke Darat mencari ibunya. Tapi ibunya sudah tidak mengenalnya lagi.
Kemudian Perpatih Nan Sebatang menikah dengan seorang perempuan, adik Datuk Ketemenggungan (seibu). Dalam pesta pernikahannya itu dibuka gelanggang (sejenis pasar malam) selama tiga bulan.  Lalu bersama-sama orang dari Luhak Nan Tigo datang melihat gelanggang itu.
Akhirnya ibu Perpatih Nan Sebatang kembali mengenal anaknya, karena ada tanda luka dikepala, bekas dipukul Datuk Ketemenggungan waktu kecilnya. Mengetahui hal itu marahlah Datuk Ketemenggungan kepada Perpatih Nan Sebatang.
Tidak lama setelah itu, waktu kerajaan Mojopahit, pada pertengahan abad ke empat belas, seorang menteri bernama Aditia Warman, dititahkan ke Palembang dank e Jambi untuk memimpin negeri itu sambil mencari jajahan taklukannya.
Dikiaskan dalam Tambo Alam ini:
“Datanglah enggang dari laut ke Gunung Berapi sendirinya hendak mencari makanannya. Maka ditembak oleh datuk nan Bertiga, bedil sedendum tiga bunyinya. Terkejut binatang dalam rimba, terkejut ikan dalam laut, meringkik kuda sembrani, berdering bunyi gentanya, kilat-gemilat rupa pelananya. Membebek kambing dalam rimba, menyalak anjing dalam koto, mengaum bunyi harimau , hiruk-pikuklah  orang dan binatang yang berada disekeliling gunung Berapi itu.
Semua Datuk dan orang-orang besar dalam negeri periangan-Padangpanjang terheran-heran. Melihat dan mendengar negeri ditunggui sejenis enggang itu. Telurnya jatuh kedalam negeri itu. Sebahagian penduduk telah menyampaikan berita nya ke luar negeri. Telur itu secara bathin belumlah lahir, kudo sembrani akan turun kenegeri Periangan-Padangpanjang, kerumah Datuk Suri Dirajo, dengan berpelana emas dengan sendirinya. Dia menghela anak dewata yang diam diatas gunung Berapi. Kita tahu akan kuda sembrani, Alam telah berkembang, negeri sudah dihuni manusia tiap-tiap kota”
Kemudian bertanyalah seluruh penduduk Alam dan Luhak dan orang-orang besar kepada Datuk Suri Dirajo. Maka dijawab : “ Ini pertanda negeri akan kacau dan penduduk akan berpindah-pindah . Seluruh Alam dan segala isinya akan mati dan banyak kerajaan akan dipegang orang-orang besar dan orang-orang kaya. Kuda sembrani itulah kesempurnaan didalam Alam ini. Sedangkan saya (hamba) sendiri akan meninggalkan tempat ini juga, begitu anak cucu saya semuanya.
Disinilah letaknya : “Patah tumbuh hilang berganti, pusako bak itu juo” adanya. Begitu juga binatang. Makanya janganlah engkau takut pada kematian. Mati itu suatu pintu yang amat besar, tiap-tiap kita akan melewatinya. Seperti kata pantun ibarat:
“Sutan Kayo di Koto Alam,
kayu mati di Parambahan.
Jiko engkau kayo dalam alam,
hanyo akan mati juo kesudahannyo.
Berbuah di Koto Alam,
buahnyo tindih bertindih.
Jiko berbuah dalam alam,
hanyo tuah silih-menyilih”

Aditia Warman itu datang dari Jambi mudik terus ia ke Batang Hari, lalu melangkah ke batang Umbilin dan mudik sampai ke Muko-muko ditepi Danau Singkarak sebelah ke Batu Beragung. Di Batu Beragung inilah mulanya bertempat Aditia Warman menjalankan siasatnya, supaya ia menjadi raja dalam Alam di luhak nan tigo ini.
Di Batu Beragung ini ada batu bersurat tulisan Hindu. Disitu tertulis tahun 1268 tahun Jawa = 1346 Masehi dan di Batu Bersurat di Pagaruyung tertulis tahun 1278 tahun Jawa, yang berarti 1356 tahun Masehi.

Artian kias dalam tambo:
“Sebabnya dikiaskan enggang, karena badannya besar tinggi dan kulitnya hitam”. Datang itu maksudnya meminang tuan Gadis Jamilan  (adik Datuk nan bertigo), supaya dapat memerintah luhak nan tigo. Ditembak oleh datuk Nan Bertigo artinya dimufakai dalam rapat tetang orang yang datang hendak sumando itu. Bedil sedentum tiga bunyinya artinya datuk yang bertigo itu ada tiga pula pendapatnya, atas pinangan Aditia Warman yang disampaikannya itu. Kata Datuk Ketemenggungan: “Orang yang datang itu, menteri sajo pangkatnyo oleh Rajo Mojopahit”. Kata Datuk Seri Maharajo Nego nan Sekelap Dunia: “Adapun orang nan datang  hendak sumendo itu hanyalah saudagar saja”

Walaupun tidak ada kata sepakat antara tiga saudara itu, karena Datuk Ketemenggungan yang tua, yang suka terhadap Aditia Warman menjadi suami Tuan Gadis Jamilan, maka diterimalah pinangan orang yang datang itu.

Telur enggang yang berisi kuda sembrani artinya menjadi Rajalah dia, didukung oleh semua pelarasan Koto Piliang junjungannya Ninik Ketemenggungan.

Ninik Perpatih Nan Sebatang, walaupun Aditia Warman sudah menjadi orang sumando, namun tidak suka kalau dia (Aditia warman) menjadi  Raja memerintah Alam Luhak nan Tigo, supaya terpelihara anak buahnya maka jangan takluk ke Mojopahit. Karena Ninik PerpatihSebatang  itu orang terpelajar, beliau tahu, bahwa Aditia Warman itu menteri di Mojopahit, hingga dikatakan beliau: “Aditia Warman itu Seri Paduko Berhala”. Berhalanya ditinggalkannya dalam ngalau di batu Muara Takus, sebelum datang kesini. Karena itulah Laras Bodi Caniago, junjungannya Ninik Perpatih Nan Sebatang, tidak suka beraja kepada Aditia Warman, hingga negeri terbagi dua kelompok, yang dinamakan “Kelarasan”

Datuk Temenggung memilih koto-koto tempat melaraskan (reras) peraturan-peraturannya. Peraturan-peraturan itu merupakan keputusan yang telah dipilih dan disepakati oleh Datuk Ketemenggungan beserta Ceti Bilang Pantia Warman. Oleh karena itu disebut “Laras Kato Pilihan”” yang kemudian menjadi “ Laras Koto Piliang”, junjungan Datuk Ketemenggungan.

Datuk Perpatih Nan Sebatang berusaha pula dengan mempermainkan budinya dan tenaganya bermufakat dengan penghulu-penghulu dan orang cerdik pandai, meraraskan peraturan-peraturan yang telah menjadi keputusan bersama dengan koto-koto yang lain. Karena itu dinamakan “Laras Budi Tenago” yang akhirnya menjadi “ Laras Bodi Ceniago”, junjungannya Datuk Perpatih Nan Sebatang.

Kemudian bermufakatlah semua Laras, berhimpun (berkumpul) di Padang Sikuban namanya. Lokasi ini terletak antara Palembang dan Jambi. Darahnya sama-sama dicecah (dicicipi). Dagingnya sama-sama dilapah (dimakan sepuasnya) , tulangnya sama dibenam (dikubur). Artinya setiap persoalan atau masalah dibicarakan sejernih-jernihnya, lalu ditetapkan keputusannya, menyatakan Alam Luhak Nan Tigo ini menjadi dua laras, yaitu: Laras Koto Piliang dan Laras Bodi Ceniago.

Adapun Laras Koto piliang, yaitu: sampai ke laut nan sedidis, sampai ke gunung Berapi hilir, sampai keliling gunung Berapi semuanya. (dimulai dari luhak nan tigo).

Adapun Laras Bodi Ceniago, ialah sampai Muaro Mudik, pada Padang Parab hilir, selimbago juga masuk, Periangan-Padangpanjang.

Diantara Laras nan dua itu ada lagi satu laras yang tidak masuk kelarasan Koto piliang dan tidak masuk kelarasan Bodi Ceniago, bernama “Laras Nan Panjang”, yaitu daerah selingkaran Batang Bingkaweh, seedaran Gunung Berapi.

Maka bernama negeri Pagar Ruyung.
Tempat perkawinan Aditia Warman dengan Tuan Gadis Jamilan, yaitu di Periangan, karena disitu mereke bertempat diam (tinggal).
Karena begitu keras perintah Rajo itu, akhirnya disepakati oleh laras nan duo. Atas permintaan masyarakat nagari, kepada Tuan Gadis Jamilan, supaya mengajak pindah Raja itu ketempat lain.

Karena kasihan kepada penduduk negeri, maka diajaklah Raja itu pindah ke Bungo Setangkai (Sungai Tarab sekarang) , kemudian dari situ pindah pula ke Bukit Batu Patah. Kemudian dari Bukit Batu Patah, menurun kebawah Bukit membuat koto.

Tak lama kemudian hamillah tuan Puteri Jamilan, setelah genap bulannya lahirlah seorang anak. Mereka takut memandikan anak itu di Sungai, khawatir disambar buaya. Maka diperintahkanlah daulat yang dipertuan kehulu sungai untuk membawa ruyung  yang akan dipergunakan sebagai pagar tempat mandi. Maka sejak itu dinamailah tempat itu “Pagar Ruyung”

Kekuasaan Raja Pagar Ruyung
Laras Koto Piliang itulah yang merajakan Aditia Warman menjadi Raja di Pagar Ruyung, tetapi sebenarnya dia hanya sebagai pembanding hukum saja, dan tidak untuk memerintah. Itu makanya disebutkan:  “Adapun laras Bodi Ceniago hamba yang mahamulia oleh daulat yang dipertuan, dan adapun laras Koto Piliang hamba Dalem oleh daulat yang dipertuan”. Artinya itu tidaklah dibawah perintahnya.

Akhirnya penduduk semakin berkembang dikedua kelarasan itu, maka berpikirlah Ninik Ketemenggungan, lalu dinamailah “Limo Kaum dua belas koto”, maka dinamai pula Sungai Tarab Darussalam, selapan Batur dalamnya, artinya mempunyai Datuk nan selapan (delapan orang datuk), ber nan empat dikiri, empat dikanan. Dua di ekor, dua di kepala.  Maka dinamai pula kelaut se-edar, sampai ke ombak nan bedebur, kialah negeri kebesaran Koto Piliang. Maka dinamalah Sungai Emas ekor koto, yaitu lain daripada Periangan-Padangpanjang.
Adapun negeri semuanya hanya turun dari negeri yang tiga itu. Jika tidak turun dari Nan Tigo Itu, entah berantah namannya.

Dilima Kaum inilah berbantah ninik Ketemenggungan dengan ninik Perpatih Nan Sebatang, lalu ditikamnya batu oleh ninik Perpatih Nan Sebatang. Adapun batu dan besi itu sama keras keduanya. Maka dihentaknya pula dengan tongkat besi. Sampai kini tempat itu bernama “Batu Bertikam”.

Amanat Inyik Suri Dirajo
kepada Inyik Ketemenggungan
 Sepulangnya inyik Perpatih Nan Sebatang dari berlayar, lalu inyik  Ketemenggungan memohon bicara kepada inyik Suri Dirajo di Periangan-Padangpanjang.  Dalam pembicaraan itu inyik Suri Dirajo berkata: “Wahai anak cucuku, peganglah petaruh hamba ini oleh engkau, karena hamba hendak berlindung ke hadirat Allah Ta’ala (wafat). Baik-baik memelihara isi alam, baik-baik memelihara isi negeri, baik-baik memelihara anak-kemenakan, pikirkan sunguh di dalam hati,  supaya jangan kena sumpah Nabi Adam ‘alaihi sallam.   Paham yang akan dipakai, seumpama laut tidak penuh oleh  air dan bumi tidaksemuanya diisi oleh tumbuh-tumbuhan. Jika engkau nanti jadi penghulu di Laras Koto Piliang, walau bagaimanapun “jangan memakan menghabiskan”, “jangan menebang merebahkan”, jangan memancung memutuskan, sebab pikiran tidak tidak sekali dapat.  Hal yang akan dipakai, kasihanilah segala isi Alam atau Luhak, seperti Nabi kasihan kepada ummatnya. Itulah yang penting hamba sampaikan, dan pikirkan baik-baik !. Adapun hati palingan Allah, teraju palingan mata. Maka baik-baiklah memelihara lidahmu, hatimu, hatimu dan matamu. “Jika terdorong lidah emas padahannya, jika tertarung kaki inai padahannya, jika terdorong penyembahan badan tanggungannya”. Banyak lagi kata pusaka yang disampaikan inyik Suri Dirajo. Diantaranya: “jika berkata dengan orang tahu bagaikan santan dengan tengguli”, “jika berkata dengan orang tidak tahu bagaikan alu pencukir duri”. Adapun ilmu itu dua perkara : 1. Ilmu diambil daripada kias, dan 2. diambil daripada kata guru.

Perdamaian
Ketemenggungan dengan Perpatih Nan Sebatang

Ninik Ketemenggungan dengan Ninik Perpatih Nan Sebatang berdamai di Padangpanjang. Kemudian ada rencara dari Ninik Perpatih Nan Sebatang untuk menjalin hubungan sesama anak-cucu mereka berdua dengan tali perkawinan. Sejak itu berdiri pusako perang (bendera perdamaian telah berkibar) dengan bersatunya  diantara kedua belah pihak. “ Waris nan kita tulung, pusako nan kita jawek (terima) turun temurun, pusako pakai-memakai selama-lamanya”.
Jikalau takut mengisi ketundukan, jikalau alah berpumpunan abu, jika seri berjabat tangan. Saat itu binasa negeri Budi Ceniago mengisi ketundukan. Maka dicari kuda lima ekor oleh Datuk-datuk negeri nan bertiga, bertali cindai belaka. Maka dihirit (digeret) lah ke Selapan Batur. Sehingga bercahaya ke atas langit, tertabur ke hamparan bumi, melintasi kearah laut Nan Sedidis. Lahirnya akan emas pemberi, batinnya ketundukan semata-mata. Akhirnya bersama-sama berdamai antara Laras Bodi Ceniago dan Laras Koto Piliang. Hingga saat ini tidak ada perubahan, karena mereka sama-sama cerdas keduanya.
Tersebut dalam tambo:
                Patah manik di Selido,
            Patah terempas atas karang,
            Dipilih anak rang Kuranji,
            Berbantah ninik nan berduo,
            Memanggakkan laras seorang-seorang,
            Dek hati samo suci,
            Aman datang dami bertemu.

Asal nama Alam Minangkabau
Setelah beberapa lama terkenallah Alam ini, bahwa di Sumatera Tengah ada sebuah kerajaan, dimana penduduknya banyak yang cerdik. Berita itu akhirnya sampai kepada Raja Mojopahit, lalu dititahkannya hulubalangnya membawa tentara untuk menaklukkan Alam itu. Setelah mereka itu masuk ke Alam ini kemudian menetap mulanya di Batu Patah, lalu disambut oleh Datuk Suri Dirajo dan penghulu-penghulu beserta orang cerdik-pandai dengan sebaik-baiknya. Lalu dibuat perundingan antara kedua belah pihak, agar tidak usah berperang saling membunuh diantara mereka. Lebih baik diadakan saja sebuah pertandingan. Akhirnya disepakati bersama “pertandingan mengadu kerbau”. Jika kerbau orang Alam ini kalah, maka Alam ini mengaku takluk kepada Kerajaan Mojopahit.   Setelah  pembicaraan yang disepakati itu, lalu hulubalang Mojopahit itu pulang kekerajaannya dan menceritakan kepada Rajanya. Kemudian mereka mencari seekor kerbau besar, untuk dibawa ke Alam ini. Kerbau itu bernama si Binuang Sati dan panjang tanduknya.
Melihat keadaan yang demikian itu, Datuk Suri Dirajo, Ketemenggungan dan Perpatih Nan Sebatang serta orang cerdik-pandai membuat rapat.
Sebelum pertandingan itu diadakan.  Orang Alam ini minta waktu selama tujuh hari kepada hulubalang Kerajaan Mojopahit.
Kemudian orang Alam ini mencari seekor anak kerbau yang sedang kuat menyusu, lalu dikepala anak kerbau itu dibuat cewang (minang) besi sembilan cabang. Tiap satu cabang enam pucuknya (ujung runcingnya). Setelah sampai tujuh hari sebagaimana yang dijanjikan. Semalaman anak kerbau yang akan bertanding itu tidak beri menyusu kepada induknya.
Dihari pertandingan yang telah disepakati maka keluarlah seluruh penduduk tua-muda, laki-laki dan perempuan, karena ingin sekali menyaksikan pertandingan mengadu kerbau itu. Lalu orang Mojopahit menghirit (menuntun) seekor kerbau besar ke tengah gelanggang pertandingan yang sangat luas itu, tempatnya di nagari Minangkabau sekarang, sekitar empat kilo meter dari Batu Sangkar. Setelah sampai waktunya dan telah siap semuanya, lalu masing-masing kerbaun dilepaskan. Maka anak kerbau itupun berlari mengejar kerbau besar itu. Dia sangat haus dan segera ingin menyusu.  Anak kerbau itu menyerbu diantara kedua kaki, lalu menyeruduk perut kerbau besar itu. Cewang besi yang ada dikepalanya lalu menembus perutnya.  Kemudian kerbau besar itu lari. Sampai didekat suatu kampung, terbusai (keluarlah) isi perutnya. Akhirnya kerbau itupun rebah.   Maka tempat itun menjadi negeri yang dinamakan: “Simpurut”
Kulit (jangat) nya dibawa orang kesuatu kampung, yang kemudian dinamakan negeri : “Sijangat”.
Perut Panjangnya dibawa orang kesuatu kampung, yang kemudian negeri dinamakan: “Koto Panjang”
Tanduknya sampai dulu disimpan di Paga  Ruyung. Sejak saat itu dinamakanlah Ala mini : “Alam Minangkabau”. Ada juga yang menyebutkan “Alam Menangkabau”. Maka hulubalang Mojopahit itupun pulanglah beserta tentaranya semuanya.
Yang bernama Alam Minangkabau, hinggan (sampai ke) Sikilang-Air Bangis hinggan riak nan berdebur, Pucuk Jambi Sembilan Lurah, hinggan Tanjung Simalidu, hinggan Kuok jo Bangkinang, Siak Indera Giri, Kampar Kiri jo Kampar Kanan. Gunungnya berbanjar-banjar, bukitnya berbaris-baris, sungai berulas-ulas, tumbuh-tumbuhannya lebat, tanahnya subur, buminya senang.
Menyusun peraturan adat dalam nagari.
Kemudian berjalanlah Datuk Ketemenggungan, datuk Perpatih Nan Sebatang dan Datuk Seri Maharajo Nego, beserta lima puluh orang banyaknya. Orang-orang inilah yang ditanam (ditempatkan) berempat sekoto, lima sekoto, berenam , bertujuh sekoto, bertiga sekoto. Mengatur setiap nagari. Kemudian para datuk itu kembali ke Periangan-Padangpanjang. Lalu berangkat lagi ke tempat lain membawa orang cerdik-pandai (ceti Bilang Pandai), sehingga tersusunlah setiap nagari dan setiap kotoe di Minagkabau ini.
Laras Koto Piliang dn Bodi Ceniago, walaupun telah menjadi dua Kelarasan, setiap mereka sudah saling beri-memberi sawah-ladang, emas-perak, tetapi tidaklah memberi malu, hingga laras Koto Piliang dengan laras Bodi Ceniago sehina-semalu juga. “Ibarat paruh dengan sayap, jika kusut sayap maka paruh merapikan, jika paruh kumuh (celemotan) maka sayaplah yang akan membersihkannya”. Artinya paruh itu ialah Bodi Ceniago dan sayap itu ialah Koto Piliang.
Jika masalah dan persoalan terjadi di laras Koto Piliang, maka mengadulah ke laras Bodi Ceniago supaya sama-sama diselesaikan, dan begitu pula sebaliknya. 
Masuknya Laras Koto Piliang ke laras Bodi Ceniago akan dapat dijadikan sebagai penguat adat, sebagai cermin, batu tapakan dan jenjang naik bagi masing-masing laras yang masuk.
Amanat Datuk Suri Dirajo
Disaat Datuk Suri Dirajo merasa ajalnya sudah dekat lalu dia mengumpulkan para penghulu dan para pembesar negeri dari seluruh rantau dan laras nan duo.  Kemudian dia berpesan, katanya: “kita semua anak Minangkabau yang berada dimuka bumi ini, dan dikolong langit ini tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang. Jika kurang ada lebihnya dan jika dikata rendah ada tingginya, dan jika dikata tinggi ada rendahnya. Tidak ada yang sempurna semuanya. Jika Raja dikata tinggi, para pembesar-pembesar itu lebih pula daripada yang lainnya. Jika terlalu rendah bathinnya, maka ia hanya akan menambah mengisi lembaga Alam ini saja semuanya, bagi tiap-tiap dilaras atau negeri, itulah rendahnya. Karena itu wahai segala isi alam penduduk negeri Minangkabau !! Janganlah engkau berdengki-dengkian sesama sekoto,  serumah, selaras Bodi Ceniago, dari selaras ke selaras, karena malu belum diberi oleh Datuk nan berdua yaitu Ketemenggungan dan Perpatih Nan Sebatang. Yang sudah diberikan hanya pada kerbau, jawi (sapi), ayam, itik (bebek) baju destar duanggo adanya”
Itulah pusaka yang kita terima dari orang-orang tua, turun-temurun hingga kepada anak-cucu: “Tali nan tiada putus, cermin nan tiada kabur, pelita nan tiada padam, lantak nan tiada goyah, sangkutan nan tiada patah”
Itulah “yang dipersumpahkan-persatikan, tepung batu, dan cencang air nan tiada putus”. Diperbuat sumpah satin: “Kutuk memakan seribu siang, seribu malam, buah tiada jadi, anak buah tiada kembang, nan seratus jadi sepuluh, nan sepuluh jadi satu, satu menjadi batang keladi”.

 Asal mula perkataan “negeri”
Asal kata “negeri”, ialah dari bahasa Sangsekerta. Negeri yang mula-mula berdiri ialah negeri Periangan-Padangpanjang. Kemudian datuk Ketemenggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang mengembangkan peraturan-peraturan itu di Luhak Nan Tigo, dengan membawa orang cerdik-pandai dari Periangan-Padangpanjang dalm abad ke empat belas. Dikala itu  ada juga yang merintis mencari tempat yang lebih baih untuk dijadikan negeri, menurun mendekati batang air atau anak-anak sungai.
Hasil teruko satu-satu kaum itu menjadi kepunyaannya. Daerah-daerah yang dapat diairi dan datar dijadikan sawah, yang lain dijadikan ladang atau untuk pelepasan ternak, kemudian mereka membuat teratak disitu, berladang dan meneruskan terukonya. Setelah penduduk kian bertambah banyak, akhirnya teratak menjadi dusun, dusun menjadi koto dan setelah mencukupi berbagai persyaratan, maka koto itu menjadi negeri.
Setelah agama Islam masuk ke Minangkabau, maka disusunlah berbagai peraturan didalam negeri-negeri ini. Tiap-tiap negeri lalu mendirikan masjid sebagai tanda sebuah negeri. “Berbalai-bermesjid; berkapuk-bersurau; berkerbau- berjawi; berayam-beritik, berpinang-berkerambil, berlabuh-bertepian, berpandam-berpekuburan, bergenggam-beradat, Labuhnya golong, tepiannya suci.
Menurut pepatah:
Inggeris berkerat kuku,
dikerat jo pisau siraut,
peraut batang tuonyo.
Adat negeri ada bersuku,
dalam suku berbuah perut,
dalam buah perut ada betuonyo.

*** & ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar