Senin, 29 Juni 2015

Sepenggal Kisah Anak Negeri

Sepenggal kisah
Anak negeri
Memilih/tidak memilih.
Pagi itu sahabatku datang berkunjung ke rumah. Memang kami sudah lama tidak ketemu. Dipertemuan itu kami kembali bercerita tentang masa-mas lalu yang kami jalani bersama, dan sesekali kami tertawa dengan apa yang telah kami lakukan.
Selepas zduhur, sehabis makan siang, pembicaraan bergeser ke persoalan hidup yang kami lalui saat ini, termasuk kondisi demokrasi yang ada di negeri ini.
Mas !, gimana keadaanmu saat ini ?, kataku mengawali pembicaraan.
“Biasa bang”, aku merasa bahagia, karena kebebasan dalam berekspresi masih bisa aku hirup dan nikmati di negeri ini. “Kalau keadaan abang bagaimana”, katanya.
Alhamdulillah, setelah purna bhakti, kini abangpun merasa bebas dalam bersikap, kataku. Tapi abang bingung juga dalam setiap pesta demokrasi yang ada, masih terlalu banyak kontestan dengan berbagai janji-janji untuk mensejahterakan masyarakat.
Bang !, aku punya cerita, katanya.
Pada zaman dahulu di sebuah pertigaan jalan, seorang pematung ulung terpesona pada sebatang pohon nagka besar yang berdaun rimbun. Pohon itu berdiri kokoh di pinggir jalan. Betapapun anggunnya pohon itu, namun selalu luput dari perhatian orang-orang yang berlalu-lalang.
Pematung ulung itu lalu berpikir, “bagus sekali batang pohon nangka ini, jika kupahat jadi patung, orang tak hanya memperhatikan tapi juga bisa memanfaatkan sebagai tanda”.
 Kemudian sipematungpun mulai bekerja. Ia potong seluruh cabang dan ranting, lalu ia sisakan bagian dari batangnya setinggi orang dewasa. Lalu ia pahat batang nangka itu sampai terciptalah sebentuk tubuh perempuan telanjang. Molek. “Siapapun yang lewat tak akan menyia-nyiakan lagi keindahan ini”, kata sipematung sembari beranjak pergi.

Benar, hampir semua orang yang datang dari ketiga arah jalan itu, menyempatkan diri berhenti sejenak untuk memandang kagum pada potongan kayu itu. Tak terkecuali seorang pelukis yang sedang mencari pemandangan indah untuk ia pidahkan ke atas kanvas.
“halus sekali patung ini”, pikirnya. “Sayang orang masih melihat sebagai kayu”. Pelukis itu lantas menyaput seluruh permukaan kayu dengan warna kuning langsat dan menambahkan cat yang sesuai pada beberapa bagian tubuh. “Kini ia lebih menyerupai manusia”, gumamnya sebelum melanjutkan perjalanan.
Beberapa orang sampai terkecoh. Mereka kaget, kok ada perempuan telanjang di pinggir pertigaan. Itu melanggar norma susila. Setelah dilihat lebih seksama, mereka sadar itu bukan manusia. Tapi, “Mirip sekali,” puji mereka. Seorang penjahit pakaian, satu diantara yang terkecoh itu, lantas ia memakaikan baju dan membalutkan sarung dari pinggang sampai ke betisnya. Patung itu kini jadi lebih nampak sebagai perempuan dalam kewajaran. Makin cantik. Makin dikagumi oleh siapa saja yang melihatnya.
Syahdan, pada suatu malam dibulan purnama, ada sesosok malaikat sedang terbang rendah di wilayah itu. Ia pun terperanjat menyaksikan perempuan cantik berdiri seorang diri di malam sunyi. Dengan dada berdebar ia mendekat dan, “Ah, sialan, tertipu aku!” Pikirnya, jika ia bisa terkelabuhi, tentu banyak manusia dungu yang menganggap patung itu perempuan sungguhan. Kasihan patung ini. Ia tak bersalah, tapi orang yang terkecoh akan memaki, meski akhirnya memuji.” Lantas muncul perintah dari Yang Maha Kuasa. Tepat pada tengah malam, ia tiupkan ruh ke tubuh kayu itu.
Esoknya, gegerlah seluruh isi negeri. Orang-orang ramai membicarakan seorang perempuan tak dikenal yang duduk bersimpuh dan tersedu di pinggir pertigaan. Kabarnya beberapa orang telah bertanya: siapa namanya, dari mana asalnya; namun semua pertanyaan itu hanya ditanggapi dengan gelengan dan sedu-sedan. Warta tentang perempuan cantik tapi aneh itu pun segera menjalar sampai ke mana-mana. Sampai pula ke telinga Si Pematung, Si Pelukis, dan Si Penjahit pakaian.
Karena penasaran ketiga orang itu pun datang ke pertigaan tempat mereka dulu mendapati patung kayu. Mereka menyeruak di antara kerumunan orang. Begitu melihat perempuan di hadapannya, Si Pematung berkata, “Ia adalah jelmaan patung yang semula berdiri di sini.” Tak sulit meyakinkan massa, sebab faktanya: patung yang dulu mereka kagumi kini tak ada, lalu mendadak ada seorang perempuan asing tak tahu nama dan asal-usulnya. Banyak orang yang pernah melihat patung di tempat itu menyatakan persetujuan. “ Benar, paras dan pakaiannya mirip dengan patung yang dulu.”
Orang-orangpun bertanya: siapa yang berhak mengambil perempuan molek itu sebagai keluarga? “Si Pematunglah yang berhak, karena ia yang mengubah pohon nangka menjadi patung perempuan.” Di depan khalayak Si Pematung mengumumkan niatnya, akan menjadikan perempuan itu sebagai istri dan berjanji akan setia sampai mati.
Tapi terdengar suaru lain, “Mestinya yang lebih berhak adalah Si Pelukis, karena dialah yang menjadikan patung itu benar-benar mirip manusia.” Penuh semangat Si Pelukis pun berjanji akan menikahinya dan menjamin kesejahteraan hidupnya.
Segera terujar pendapat yang berbeda, “Memang benar Si Pematung dan Si Pelukis menjadikan pohon nangka itu mirip manusia, tapi mereka membiarkannya telanjang. Maka yang paling pantas menjadi suami perempuan itu adalah Si Penjahit pakaian, karena dialah yang menjaga kehormatannya.”
Merasa mendapat angin. Si Penjahit pakaian tak menyia-nyiakan kesempatan. “Sebelum kuberi pakaian, ia hanya patung berbentuk manusia tak beradab,” katanya. Dan ia berjanji akan menjadikan perempuan itu sebagai istri solehah yang berbahagia dunia-akhirat.
Ada juga pendapat lain bahwa yang paling berhak adalah malaikat yang meniupkan nyawa. Ketiga orang itu dinilai telah meninggalkan karya mereka, sampai malaikat menghidupkannya menjadi manusia. Tapi pendapat ini tak mendapat dukungan, sebab malaikat hanya patut diyakini dan mustahil menikah dengan manusia. Akhirnya, orang-orang sepakat bertanya kepada Si Perempuan, memberikan kebebasan padanya untuk menentukan pilihan.
Dalam versi asli cerita ini, bagian dari Serat Anglingdarma, tak dinyatakan secara gamblang siapa akhirnya yang dipilih perempuan itu. Mungkin maksudnya, kitalah yang harus merenungkan: “mengapa seseorang harus memilih” dan “apa yang telah mereka lakukan” sehingga layak dipilih.
Sebelumnya, sebagai pohon nangka di pinggir pertigaan, ia hidup subur dan tenang. Kini, sebagai manusia, yang tak mungkin hidup sendiri-terpisah dari manusia lain-ia berada dalam situasi harus memilih. Orang-orang yang ingin dipilih itu telah lebih dahulu mengubah jati dirinya, membentuk dan mematut fisiknya, dan hendak mengarahkan kesadarannya; sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing.
Tindakan memilih hanya baik dilakukann jika subyek dalam keadaan “menjadi diri sendiri” dan bebas menentukan pilihan. Artinya ia memang membutuhkan sesuatu dan yang dipilih musti sesuai dengan kebutuhan itu. Penonjolan sederet predikat dan hamburan janji tentang masa depan jelas bukan bahan “obyektif” yang patut dijadikan pertimbangan pemilihan.
Aku bayangkan perempuan molek itu akhirnya “memilih/tidak memimilih”. Ia hanya tersedu mengenang masa lalunya, ketika ia hidup tenteram sebagai pohon nangka yang berdiri anggun dengan daun yang rimbun.
Lalu ia mengakhiri ceritanya. “Jadi jika hal itu terjadi pada diri Mas…. sendiri bagaimana ?”, kataku.
Hidup ini adalah pilihan bang !. Tergantung kita mau berbuat apa.
Ohh.. ya… tentu !, tergantung kita mau menuju kemana.
Hari sudah sore bang, aku pamit dulu. Lain kali kita sua lagi.
Lalu kamipun saling berjabat-tangan dan saling berucap salam, kemudian berpisah.-


&&&

Tidak ada komentar:

Posting Komentar