Senin, 29 Juni 2015

Tukang


Pada zaman dahuhu ada seorang kakek dari suku Tanjuang Tabuah Gadang dari tanah darat (Solok) setiap tahun pergi ke tanah pesisir di “Macang Masam” (Padang Luar Kota) untuk melihat hasil panen anak-kemenakannya. Kakek itu berangkat dari rumahnya disaat hari masih gelap gulita dan fajar belum menyingsing di ufuk timur. Setelah tengah hari tibalah beliau dipunggung bukit barisan antara negeri Lubuk Selasih dan negeri Air Sirah, lalu ia beristirahat dan shalat dipinggir sebuah sungai. Dari kejauhan terlihat seorang anak muda yang sedari tadi mengawasi gerak gerik sang kakek yang tengah beristirahat itu. Dia berniat mau menghadang sang kakek pada sebuah tikungan jalan, dan ia ingin mengambil apa yang dibawa orang tua itu.
Kini kakek itu terlihat akan melanjutkan perjalanan. Anak muda yang mengawasinya itupun sudah mulai mengikutinya dari belakang. Setelah beberapa lama berjalan, dia bingung sendiri, kenapa dia tidak mampu mendahului sang kakek yang mau dihadangnya itu, padahal ia telah berjalan begitu cepat. Akhirnya dia kembali ke tempat kediamannya dan berniat ingin menemui kakek itu nanti sepulang dari perjalananya.
Setelah beberapa lama di tanah pesisir, kini kakek itu ingin kembali pulang ke tanah darat, ketempat dimana dia bermukim. Pada saat tengah hari sampailah ia di pinggir sebuah sungai tempat dimana ia selalu beristirahat dan shalat disitu. Tiba-tiba muncul seorang anak muda, lalu menyapa kakek itu: “Angku dari mana dan mau kemana ?,”.
“Deen dari darat dan mau ke darat”, katanya. “kenapa ambo tidak bisa mendahului angku disaat berjalan?,”. “Itu tergantung dari niat dan tujuan kita  berjalan, apabila tujuan kita jauh maka tenaga dan kekuatan yang dibutuhkan juga lebih kuat. Sebaliknya orang-orang yang berjalan dengan tujuan yang pendek dan ingin cepat sampai, maka orang semacam ini perlu tambahan ilmu dan pengetahuan sehingga nantinya dia bisa sampai ketempat yang dituju dengan selamat”, kata kakek itu.
Singkat kata, jika seseorang yang hanya ingin memperoleh kenikmatan sesaat dengan jalan pintas, maka ketahuilah bahwa orang itu sebenarnya belum paham akan arti dari hidup dan kehidupan ini.
Cobalah perhatikan, seandainya kamu itu mampu mendahului saya dan lantas mencegat saya, lalu kamu mertampas apa yang ada pada diri saya.  Yang kamu dapatkan hanya sebatas apa yang melekat di diri saya. Tapi mampukah kamu merampas hati dan keyakinan saya ?
Anak muda itu jadi malu sendiri. Kata-kata kakek itu seakan menyindirnya. Seakan-akan kakek itu juga mengetahui niat buruk nya yang mau menyamun. Lama sekali anak muda itu memperhatikan wajah kakek itu. Wajah yang begitu teduh dan penuh kedamaian, lalu dia berkata, “ambo nak “ba guru” ka angku !” (aku mau belajar sama kakek).
Kalau “nak baraja”(mau belajar), tempatnya bukan disini !, aku punya tempat diam (rumah), datanglah ke sana.
+ “Dimana rumah angku”.
-    Di sebelah timur sana ada sebuah puncak bukit bernama “Bukit Sundi-puncak kuduk jawih”,  di sebelah barat laut dari bukit itu ada sebuah lembah. Nanti kamu tanya disitu rumah kaum suku Tanjuang Tabuah Gadang. Insyaallah kita akan ketemu.  Lalu keduanya lalu berpisah.

Selang beberapa lama disebuah negeri, panen padi tahun itu begitu melimpah. Banyak penduduk sekitarnya datang ke sana untuk ikut mencari penghidupan. Menurut penuturan mereka, sebabnya mereka suka ke negeri itu karena berasnya begitu gurih dan enak. Penduduknya ramah-tamah, pemurah dan suka berzakat dan bersedekah. Setiap kali panen tiba, sangat banyak padi dan beras terkumpul di masjid dan surau-surau yang diserahkan warga sebagai tanda syukurnya.
Dari sekian banyak orang yang datang, ada seorang anak muda yang tinggal disebuah surau di pinggir sungai. Diapun ikut dibawa bekerja oleh penduduk negeri itu. Tanpa terasa musim panenpun sudah habis, sekarang memasuki musim kesawah. Tapi anak muda itu terheran-heran. Kenapa di negeri ini pekerjaan tak kunjung usai. Keberkahan senantiasa muncul di negeri ini. Selama ia tinggal di surau itu, hampir setiap malam ada saja orang yang mengajaknya untuk ikut  menghadiri kenduri.  Ada acara berdo’a selamat, berdo’a lapeh cameh, berdo’a menaiki rumah baru, berdo’a mau pergi kerantau, dll.  Hasil upah yang diterimanya setiap hari banyak tersimpan jadinya. Lalu tiba-tiba dia teringat akan maksud kedatangannya ke negeri ini yaitu ingin mencari seseorang kakek yang akan dijadikan guru dalam hidup dan kehidupan. Mulai sejak itu dia bertanya kepada beberapa orang penduduk, tentang dimana letaknya rumah orang suku Tanjuang Tabuah Gadang.  
Tapi dimanakah kakek itu ?, dia lupa menanyakan siapa nama dan apa pekerjaan beliau.
Pada suatu hari dipinggir sebuah sungai, ada sekelompok orang yang akan membangun sebuah kincir padi. Hari itu anak muda yang tinggal di surau itu tidak ikut bekerja di sawah, karena badannya terasa kurang sehat. Lepas tengah hari dia ingin mandi disungai. Tidak jauh dari tempat orang yang mau membangun kincir itu. Tiba-tiba dia kaget bukan main, karena dia melihat sang kakek juga ikut bekerja bersama beberapa orang lainnya. Lalu dia menyapa, “Assalamualaikum, Ngku!!.” Setelah dijawab salamnya lalu kakek itu bertanya, siapa ya ?
+ “Ambo, anak mudo yang waktu dulu ingin berguru samo angku”.
-          “Lah lamo disiko,?, dimano tingga?, dan apo karajo kini ?” kata kakek itu.
+     Sejak musim panen kemaren, sehari-hari ambo ikut ke sawah mencari upah disini. Ambo tingga di surau itu, sambil menunjukkan tangannya.
+     Mulai besok ananda boleh pilih, mau tinggal tetap di surau itu, atau mau tinggal di rumah di seberang sungai itu, atau di kincirpadi di Sawah Padang. (rupanya rumah yang di tujuk diseberang sungai itu dan juga surau tempat dia tinggal masih milik kaumnya dari suku Tanjuang Balik).
Bingung juga anak muda itu diberi pilihan tempat tinggal. Akhirnya dia tetap memilih tinggal di surau tempat ia semula datang.
Kalau mau belajar, ikutlah bersama aku bertukang. Karena untuk mengerjakan sawah, kamu sudah ada pengalaman. Kini pengalaman itu ditambah dengan keterampilan bertukang !, bagaimana ? Tapi dengan catatan, berhitung mulai dari satu, dan jika belajar mulai dari alif !, bagaimana ?. Baik ngku, ambo ingin belajar bertukang. Mulai besok kamu datang ke tempat ini. tugasmu yaitu belajar mengasah peralatan tukang hingga ketajamannya betul-betul sesuai dengan apa yang diharapkan oleh kepala tukang. Setelah mahir mengasah setiap peralatan, kemudian dia diajarkan ukur-mengukur dan potong-memotong bahan kayu (berupa tonggak, paren, jariau, panin, papan.. dstnya).  Kini dia sudah mampu memasang atap, membuat plafon, dan terakhir dia diajarkan mengukir rumah gadang. Ada yang bernama “ukiran tupai melompat, kaluak paku, bungo manggih. dll.

Rupanya anak muda itu tidak hanya belajar bertukang dengan kakek itu, dia juga memperhatikan segala-segi kehidupan anak-kemenakan orang tua itu. Dia betul-betul kagum. Walaupun kakek itu seorang yang banyak harta pusaka, tapi kehidupannya sehari-hari adalah bertukang bangunan. Suatu hari dia bertanya kepada kakek itu. Dan kakek itu menjelaskan bahwa seorang tukang dalam membangun sebuah rumah bukan hanya upah yang dia harapkan, lebih dari itu dia ingin membangun sebuah simbol kehidupan keluarga yang nyaman bagi penghuninya. Lebih tinggi dari itu lagi, dia ingin mengatakan kepada dunia bahwa dia telah meletakkan satu sisi peradaban kesejahteraan di tengah-tengah masyarakat-bangsa dan negaranya.
Rupanya para keponakan kakek itu, banyak yang jadi saudagar di pasar serikat Solok, bahkan ada yang merantau ke Teluk Kuantan, ke Medan, ke Jambi, Palembang, Bengkulu dan Jakarta. Semua hidup dari masing-masing usaha  mereka. Sewaktu-waktu mereka pulang ke kampung jika ada keperluan penting. Begitu juga anak-anak beliau, semua sibuk dengan keterampilan masing-masing. Ada yang jadi  pemborong bangunan, jadi muballiq, dan jadi pengusaha industry rumah tangga, jadi guru, dll. Padahal mereka semua mempunyai harta pusaka yang cukup melimpah. Tapi mereka di sadarkan oleh orang tua itu, bahwa rezeki yang baik adalah hasil jerih payah sendiri, dan keberkahannya akan terasa nikmat dan lezat.
Dalam keadaan yang demikian menyejukkan itu, tiba-tiba perangpun  meletus, terjadilah agresi Belanda yang pertama.
Akhirnya anak muda itu disarankan untuk pulang ke kampungnya dan meneruskan cita-cita luhur sang kakek yang senantiasa membangun peradaban dalam lingkungannya.-
$$$

Tidak ada komentar:

Posting Komentar