Nagari Cupak
Pada hari Sabtu ini aku mau berkunjung ke Nagari Cupak. Disana ada pasar tradisional yang lebih dikenal masyarakat setempat dengan sebutan Paken Sattu (pasar hari sabtu). Dipasar itu banyak dijual palawija dan sayur-sayuran, termasuk cabe keriting banyak dihasilkan dari wilayah sekitar negeri ini, namanya “lado” = cabe. Setelah tiba di pinggir jalan sambil memandang ke tengah pasar, pundakku dicolek orang dari belakang. Setelah aku menoleh, orang itu tersenyum. “lah lupo di deen.., yo? (sudah lupa sama saya?). Kita dulu semasa sekolah di Solok pernah satu kos-kosan ! di Berok… ! rupanya teman lama yang berasal dari negeri Gantung Ciri. Orang-orang di dua negeri ini (cupak & gantung ciri) dengan negeriku sejak dulu sudah seperti saudara. Karena setiap kaum dalam suku, mesti punya belahan (saudara sesuku, tapi beda negeri), kalau bukan di Cupak, pasti ada belahanya di Gantung Ciri. Temanku ini rupanya sudah menjadi pemuka masyarakat di negerinya, sehingga aku dengan mudah mendapat informasi darinya. Termasuk bahan-bahan tulisan yang ada di internet. Alhamdulillah…..
Nagari Cupak terletak di jalan nasional Lintas Sumatera antara Lubuk Selasih dan Kota Solok.
Nama Cupak terkesan sangat unik terdengar di telinga kita. Menurut sejarah lama, dulu terdengar kabar bahwa ada sekelompok suku dari daerah barat yang ingin menebang sebatang bambu, kemudian berita itu di dengar oleh sekelompok suku yang berada disebelah timur. Bambu yang akan ditebang itu berada dikemiringan tebing yang sudah ditempati oleh kelompok tertentu. Ketika bambu itu ditebang oleh kelompok suku yang tinggal di atas bukit, dan kemudian dipotong, bagian yang akan diambil tersebut akhirnya terguling ke bawah, sehingga warga yang tinggal di bawah lereng bukit itu segera mengambilnya dan membuat sesuatu yang berbentuk bulat seperti tabung yang akhirnya diketahui bernama cupak. Waktu itu daerah tersebut sudah berpenghuni. Dan belum diberi nama, akhirnya dengan kesepakan bersama masyarakat lereng bukit itu memberi nama tempat itu Nagari Cupak. Bagi kelompok suku dari sebelah barat yang menebang pohon yang tersangkut (tergantung) di lereng bukit tadi menyebut pohon itu batang suri yang tergantung dengan sebutan gantung suri. Dengan perkembangan zaman dan sering terpelesetnya lidah melafalkan nama tempat itu, akhirnya bernamalah daerah dari sebelah barat itu dengan nama Nagari Gantuang Ciri.
Di dalam tambo adat minangkabau, dalam ranah kubuang tigo baleh dua negeri ini disebutkan satukan “cupak jo gantuang ciri”.
Menurut tambo negeri cupak, suku pertama yang menempati cupak adalah suku melayu dan suku sikumbang yang dari Luhak Tanah Datar. Awal bermukim di Sawah XIV, di selatan nagari Koto Baru sekarang. Dari sini terus menyebar ke sawah Laweh dan Air Angek Gadang. Terus berlanjut hingga ke Tanjung Limau Purut. Disinilah akhirnya mereka mendirikan kerajaan Tanjung Limau Purut. Raja mereka bergelar Tuanku Rajo Disambah. Menurut penuturan tetua negeri, gelar ini juga gelar raja di Ranah Sungai Pagu – Muara Labuh. Di nagari Kinari gelar ini juga masih satu keluarga rumah gadang (adat) dengan angku ekor Lubuk yang bergelar Rajo Sampono, yang juga berasal dari Luhak Tanah Datar.
Kerajaan ini menurut cerita sezaman dengan kerajaan Pariangan Padangpanjang. Yang dinobatkan sebagai raja waktu itu dari kaum suku malayu, karena mereka mayoritas dari suku-suku yang ada waktu itu. Pendamping raja terdiri dari empat orang yang disebut disana sebagai Gadang nan Barampek (empat orang pembesar) terdiri dari: Rajo Tuo (suku malayu), Rajo Bandaro, Rajo Bagindo (suku malayu) dan Rajo Padang ( suku sikumbang). Kemudian malayu ini diidentifikasikan sebagai malayu mudiek, dan sikumbang dengan sikumbang gadang. Setelah itu baru dating suku-suku dari jambak, malayu tangah, piliang, malayu sigalabuak, parak laweh dan caniago.
Disaat terjadi perpindahan pusat kekuasaan Luhak Tanah Datar dari Pariangn ke Bungo Satangkai, di Tanjung Limau Purutpun terjadi pertukaran kekuasaan dari Tuanku Rajo Disambah ke Datuk Yang di Patuan, karena pihak keluarga seibu dari Rajo Disambah tidak ada lagi calon raja. Dalam Struktur kekuasaan pun mulai bergeser dari empat besar menjadi dua bendahara ditambah dengan tiga pembesar yang dikenal dengan Bandaro nan duo dan gadang dan Bandaro nan batigo. Pembesar- pembesar itu terdiri dari : Dt bandaro Sati (Suku Caniago), Dt Bandaro Kutianyia ( termasuk suku jambak Korong kutianyia), Dt Mudo (piliang), Dt Basa (sikumbang) dan Dt Kayo ( dari suku Jambak, bukan penghulu). Dari susunan yang ada ini terlihat para pembesar adat bukan lagi didominasi oleh kaum suku malayu, tapi sudah diisi oleh semua unsur dari setiap suku yang ada. Walaupun tampuk kekuasaan masih dipegang oleh suku malayu.
Ketika kerajaan Pagaruyung berdiri di Bukit Batu Patah menggantikan Bungo Setangkai, karena pengaruh dan keadaan politik di Tanjung Limau Purut. Kemudian Tanjung Limau Purut kembali diambil alih oleh dinasti Tuanku Rajo Disambah, dan pusat pemerintahan dipindahkan ke Tumpuk Mudik. Disinilah lah sejarah nagari Cupak dimulai.
Tanjung Limau Purut pernah melakukan pemekaran wilayah, Tanjung Limau Purut itu sendiri dikenal dengan sebutan cupak, berfungsi sebagai cupak usali/cupak pusako. Sedangkan air Nanam sebagai Gantang yang kemudian mendirikan nagari Salayo bersama pemukim daerah Padang Kunik. Kemudian penduduk Air Nanam dan penduduk padang Sabaleh mendirikan nagari Gantang Suri yang kemudian terkenal dengan nama Gantuang Ciri.
Di dalam lembaga adat nagari Cupak (Tanjung Limau Purut) masa dulu, negeri ini berfungsi sebagai cupak galeh (takaran perdagangan/mikro ekonomi), sementara nagari Air Nanam berfungsi sebagai cupak gantang (makro ekonomi).
Sewaktu Pagaruyung diperintah oleh Yang Dipertuan Tuanku Maharajo Sati , cupak pusako berganti nama menjadi Cupak Usali, yang waktu itu terdapat 13 suku di nagari itu. Pada Tuanku Maharajo Sati kedua berkuasa yaitu Sari Duwano mengirim puti Pinang Masak untuk meneruskan keturunan keluarga Tuanku Rajo Disambah. Puti Pinang Masak ini adalah putrid dari Puti Tabaur Urai yang kedua yang sudah dikirim Pagaruyung sebelumnya ke wilayah Kinari. Suami Puti Tabur Urai adalah Sang H yang Indo Rajodeo, yang tak lain adalah adik dari Yang Dipertuan Besar Tanah Sang Hyang (sangiang/sangir), Saang Hyang Rani Indopuro, permaisuri Raja Pagaruyung yang Dipertuaan Rajo Bagindo (Dewang Ramowano), pendahulu Tuanku Marajo Sati yang kedua.
Sebenarnya gelar Tuanku Rajo Usali adalah gelar bagi Raja Cupak yang dianugerahkan oleh Raja Pagaruyung, tapi Raja yang memerintah waktu itu belum mau memakai gelar itu. Beliau masih memakai gelar Tuanku Rajo Disambah. Kemudian salah seorang anak dari Puti Pinang Masak yang menjalin pernikahan dengan Raja Cupak baru memmakai gelar Tuanku Rajo Usali, waktu itu Tuanku Rajo Disambah masih hidup. Istri raja Tuanku Rajo Usali waktu itu berasal dari suku Sikumbang. Ditempat kediaman beliau itu (di pagaruyung) bernama Gudam. Dari penelusuran beberapa lama diketahui bahwa ada tujuh orang raja penyandang gelar Tunaku Rajo Usali. Demikian keterangan yang aku dapat hari itu, ditambah dengan bahan-bahan dari sumber-lainnya lainnya.
Hari telah sore. Sejak siang tadi sudah banyak pengunjung pasar yang kembali kerumahnya masing-masing. Kini akupun mulai mengayun langkah untuk pulang ke rumah.@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar